Tuesday, May 22, 2007

Menjadi seorang Pemaaf

Pribadi Pemaaf
10 Mei 07 09:03 WIB
Oleh SM Syaripudin Niskala

Salah satu sifat mulia yang khas dari Rasulullah Saw adalah pemaaf. Beliau adalah sosok pribadi yang sangat mudah memaafkan pihak lain. Karena beliau adalah suri tauladan bagi manusia, maka tentu saja itu berarti bahwa sifat pemaaf adalah sifat yang diharuskan bagi manusia, jika ingin sukses dunia dan akhirat. Kisah-kisah melegenda tentang keutamaan akhlak pemaaf, yang menghantarkan Beliau pada derajat manusia terbaik, terukir indah dalam lindungan kekuatan hukum hadits yang kuat (shahih).

Sebagai manusia, terdapat dua pihak yang harus mendapatkan keberkahan dari sifat mulia pemaaf. Yang pertama adalah pihak yang berbuat salah kepada kita. Keniscayaan akan peluang berbuat kesalahan, merupakan kenyataan tak terhindarkan dalam hubungan antar pribadi. Setiap pribadi, memiliki peluang demikian terbuka atas terjadinya kesalahan-kesalahan, sebagai konsekuensi logis dari dikandungnya dua potensi kebaikan dan keburukan. Sehingga, kesempurnaan sebuah insan tidak dinilai dari ketiadaan keburukan melainkan dari rasio serta kualitas kebaikan yang seharusnya superior terhadap sisi keburukan. Untuk itu, bagi pihak lain, sifat pemaaf merupakan hadiah terbaik dari tulusnya sebuah hubungan antar manusia.

Pihak kedua adalah diri kita sendiri. Ruang maaf yang cukup luas semestinya juga kita sediakan untuk terjadinya kesalahan-kesalahan diri di masa lalu. Hal ini sangat penting dan merupakan penafsiran terbuka atas larangan untuk mencela diri sendiri, menganiaya diri sendiri atau pada tingkat kulminasi tertinggi adalah larangan berperilaku putus asa. Kita harus berdamai dengan diri kita sendiri dari rasa bersalah yang berkepanjangan. Dari penyesalan yang merusak semangat hidup. Dari merasa kehinaan yang destruktif terhadap cara pandang positif. Untuk membebaskan kita dari himpitan ruang rasa kesempitan yang gelap.

Mario Teguh mengatakan bahwa hati adalah sebuah kekuatan yang sering disalah-artikan dengan semena-mena. Sebuah kelembutan yang dikira sebagai kelemahan, sebuah hamparan terluas yang dirasa sempit. Ketahuilah, bahwa hati Anda sangat luar biasa luas dan dalam-nya - apa pun pendapat Anda mengenainya. Hanya penggunaan pikiran Anda-lah yang menghasilkan kesimpulan salah mengenai ukuran hati Anda.

Lalu, apakah yang bisa terjadi dalam kehidupan ini yang tidak tenggelam ke dalam hamparan luas hati ini? Ingatkah Anda mengenai kesedihan tak terhingga yang dulu seolah akan mengakhiri kehidupan Anda, dan yang sekarang tidak Anda ingat kecuali bila Anda diingatkan? Ke mana kah perginya semua rasa sakit, gembira, marah, sedih, cemburu, khawatir, dan takut yang pernah mewarnai hari-hari Anda itu; bila tidak sirna diserap oleh luasnya dan besarnya kemampuan hati ini?

Jika sudah sedemikian luasnya hati itu, mengapa kita tidak cukup mampu menerima dengan tulus kelemahan dan kesalahan orang lain atau diri sendiri. Bukankah seharusnya ruang maaf itu adalah juga merupakan bagian tak bersekat dalam ruang hati kita yang sangat luas dan dalam itu - yang dengan itu juga berarti bahwa ruang maaf itu harus-lah sangat luas dan sangat dalam.

Jika telah demikian sulitnya kita menyadari luasnya ruang maaf pada diri kita, mohon juga diperiksa kembali, mengapa kita tidak meletakkan penghormatan yang lebih tinggi kepada Yang Maha Penyayang.

Bukankah satu-satunya rencana dari Yang Maha Pengasih adalah rencana baik atas keberhasilan kita menjadi hamba-hambanya. Di alam ruh dulu, semua manusia disiapkan dalam keadaan yang fitrah (kondisi baik dan cenderung pada kebaikan). Kemudian diperintahkan kepada seluruh alam agar tunduk dan patuh untuk dijadikan sarana jalan kebaikan. Setelah itu, dilengkapkan pula dengan contoh nyata perilaku para Anbiya dan kitab pedoman yang tak ada secuil-pun kelemahan.

Tidak-kah kita dapat melihat dari sisi pandang kehambaan, alasan mengapa kita harus menjadi pribadi-pribadi yang pemaaf bagi diri sendiri. Apakah belum cukup jelas bagi kita, kasih sayang dari-Nya sehingga kita tidak cukup mengerti tentang keharusan kita menyayangi diri sendiri - dengan menjadi pribadi pemaaf?

Ada petunjuk keharusan bagi makhluk untuk meneladani sifat-sifat Maha dari Sang Khalik. Salah satu bentuk pengimanan pada sifat-sifat Maha Agung dalam Asmaul Husna adalah dengan upaya-upaya terencana, teratur dan tulus, proses internalisasi dalam sifat pribadi kita. Untuk itu, sifat Yang Maha Pengampun (Ghafur) seharusnya menjadi salah satu motivasi utama pembentuk sifat pemaaf.

Pribadi Pemaaf
Oleh SM Syaripudin Niskala

Sebuah syair kehambaan menyebutkan bahwa walau dosa hamba menggunung tinggi, namun ampunan-Nya melangit luas. Bukankah hal itu mengindikasikan adanya tingkat probabilitas yang sangat besar akan keniscayaan manusia melakukan kesalahan, yang kemudian dimarjinalkan dengan luasnya pengampunan yang disediakan.

Sebagai sebuah pengecualian, hanya ada satu kesalahan yang tak termaafkan bagi-Nya. Maka dengan itu pula, seharusnya hanya kesalahan jenis itu-lah yang juga tidak kita berikan ruang maaf dalam diri kita. Dengan demikian, seperti halnya Yang Maha Kuasa meluaskan ketersediaan ruang pemaafan kepada insan, tidak berarti diperuntukkan bagi kesalahan yang direncanakan dan yang terlahir dari kesombongan.

Untuk itu, marilah kita menempatkan penghormatan kepada Yang Maha Penyayang di atas penghormatan pada diri sendiri. Maka bangunlah sikap lebih bersahabat dengan diri sendiri dan orang lain, dengan menjadi pribadi pemaaf yang tulus dan ringan.