Sunday, April 23, 2006

"Wanita Mulia", Mengantar 15 Anaknya dengan Modal Ikhlas

Jumat, 24 Maret 2006

Sebagaimana namanya, ia 'wanita mulia'. Ditinggal suaminya, ia
mendidik sendiri 15 anaknya sampai meraih sarjana. Tak pernah memukul atau
kata kasar. "Modalnya Ikhlas," katanya

Wawancara:
Hidayatullah.com--Jika ukurannya gelar akademis, Mulia Kuruseng termasuk
orang yang sukses dalam mendidik anak. Janda beranak 15 ini berhasil
mengantarkan anak-anaknya menggapai gelar sarjana, ada yang profesor,
doktor, master, insinyur, dan letnan.

Sejak tahun 1985, Mulia menjadi single parent (orangtua tunggal) bagi 15
anaknya. "Saya berfungsi sebagai ibu sekaligus bapak," ungkapnya
bersemangat. As'ad, sang suami, meninggal pada Oktober 1985 akibat penyakit
hipertensi dan jantung.

As'ad seorang pedagang kain, pakaian jadi, dan sarung Bugis di Pare Pare
(Sulawesi Selatan). Waktu itu, As'ad termasuk seorang pengusaha yang sukses.
Omset usahanya tiap bulan mencapai Rp 100 juta.

Mulia bukan seorang guru apalagi bergelar sarjana, tapi hanya tamatan SD.
As'ad pun cuma tamat SMA. "Saya menikah saat kelas II Muallimin, saya hanya
punya ijazah SD," kenangnya.

Bagaimana bisa ibu rumah tangga ini sukses mengantar 15 anaknya meraih
berbagai gelar akademis? Wartawan Hidayatullah menyempatkan diri untuk
berbincang-bincang dengan nenek dari 24 cucu ini di kediamannya, Jl Matahari
No 20 Pare-Pare.

Bagaimana perasaan Anda dalam membesarkan 15 anak sendirian?

Saya tidak pernah mengeluh. Saat itu saya tidak berpikir bagaimana nanti.
Saya nekad saja. Alhamdulillah, Allah selalu berikan saya rezeki sedikit
demi sedikit.
*
Apa saja yang Anda lakukan?*

Saya berusaha melanjutkan usaha Bapak. Kan Bapak punya kios, ada
barangnya. Dulu Bapak berhasil. Tetapi saat meninggal, semua piutang
tersendat.

Saya sampaikan kepada anak-anak agar tetap melanjutkan sekolah. Jangan ada
yang berpikir putus sekolah. Kan masih ada Tuhan. Alhamdulillah, itu semua
terwujud. Waktu itu yang bungsu berusia tiga tahun.
*
Bagaimana dengan anak-anak yang masih kecil waktu itu?*

Kebetulan waktu itu anak yang kedua (Suryani) dan ketiga (Indriyati) sudah
menikah. Indriyati sebenarnya belum selesai kuliah, tapi dia sudah menikah.
Merekalah yang banyak membantu saya mengurus adik-adik. Merekalah yang
men-support adik-adiknya untuk maju sekolah.
*
Apa yang paling Anda tekankan dalam mendidik anak-anak?*

Prinsip saya mendidik anak-anak ada tiga hal, yaitu ikhlas, jujur, dan
sabar. Kejujuran saya tanamkan sejak mereka kecil, ini turunan dari
kakeknya. Kami dulu dididik untuk senantiasa jujur. Jika ada makanan di
meja, tidak ada yang langsung mau makan, harus dibagi dulu. Jika ada uang di
meja, mereka berteriak mencari siapa yang punya. Jadi, di rumah ini tidak
pernah terjadi kehilangan uang.

Dengan 15 anak, untuk bersikap sabar tentu berat ya. Pernahkah Anda memukul
atau mencubit mereka?

Saya tidak pernah memukul mereka. Contohnya, si bungsu pernah mogok makan.
Gara-garanya minta dibelikan sepeda motor karena temannya semua sudah beli
motor. Saya tidak marah. Saya hanya bersabar. Tiba-tiba temannya yang punya
motor tabrakan dan meninggal dunia. Saya sampaikan kepada dia, "Saya sayang
kamu Nak." Apalagi memang saya tidak punya uang.

Saya selalu mengeluarkan bahasa-bahasa yang sopan. Mereka tidak pernah
dipukul, juga tidak pernah dibentak. Jika ada yang salah, saya tegur saat
dia lagi sendiri agar tidak tersinggung, di saat adik atau kakaknya tidak
ada.

Jika ada yang mau saya tegur, saya carikan waktu khusus. Karena jika anak
nakal satu, bisa jadi nakal semua. Saya selalu ingatkan dengan bahasa sopan.
Anak-anak ini semua (sambil menunjuk foto-foto mereka) tidak ada yang pernah
kena cambuk.

Kalau marah sama mereka, saya pergi wudhu kemudian shalat sunah. Nanti
setelah tenang baru saya nasihati mereka.

(Hasmi As'ad (48), anak sulungnya, mengaku belum pernah merasakan kerasnya
tangan ibunya. "Saya kira adik-adik juga begitu," kata dokter yang kini
menjadi Kepala Kesehatan Pertamina Wilayah Selatan.

Kalau marah, katanya, sang ibu biasanya diam. "Baru beberapa saat kemudian
Ibu bicara," ujarnya.)
*
Bagaimana menanamkan keikhlasan?*

Saya tidak pernah berpikir untuk mendapat gantinya, atau anak-anak membalas
jasa-jasa saya. Tidak, saya betul-betul ikhlas.

Saya juga tekankan pada mereka untuk ikhlas dalam memberi. Jika saya minta
mereka membantu adik-adiknya, harus betul-betul ikhlas, jangan dipaksakan.
Saya bilang kepada yang punya istri, jangan bebani istrimu.
Jika tidak setuju, jangan dilakukan. Tetapi justru menantu-menantu yang
paling dulu memberi. Mereka bilang, "Kami ikhlas."

(Keluarga ini punya kebiasaan saling membantu, bila saudaranya yang lain
memerlukan dana. Contonya saat Sumarni (anak ke-14) mau beli mobil, Mulia
menghubungi anak-anaknya yang lain. Akhirnya mereka patungan, ada yang
memberi Rp 5 juta, Rp 10 juta, sehingga terkumpul 70 juta untuk beli mobil).
*
Dalam hal ibadah, bagaimana Anda mendidik anak-anak? *

Saya tidak pernah menyuruh mereka untuk shalat, tetapi saya harus
mencontohkannya. Saya dulu yang kerjakan, baru kemudian saya suruh mereka.
Kita tidak bisa suruh anak-anak sebelum kita mencontohkannya.

Untuk kesehariannya, saya melarang anak-anak memasukkan urusan-urusan di
luar ke dalam rumah, termasuk juga dalam berbahasa. Bahasa yang tidak
dipakai di rumah dilarang masuk ke dalam rumah. Bahasa di luar dipakai di
luar saja, tidak boleh masuk ke dalam rumah.

Dalam hal ruhani, kebetulan saya bertetangga dengan KH Abdul Pa'baja (ulama
besar di Pare Pare). Beliau juga yang banyak membantu menanamkan nilai-nilai
moral pada anak-anak. Di sinilah terbentuknya fondasi anak-anak.
*
Semua anak Anda bergelar sarjana, apakah memang ditekankan soal ilmu?*

Oh, tidak. Saya cuma tekankan bahwa siapa yang tidak sekolah ayo bantu ibu.
Akhirnya mereka semua mau sekolah. Saya juga buat persaingan di antara
mereka. Saya tidak pernah secara langsung menekankan mereka untuk sekolah,
saya hanya buat persaingan. Siapa yang rangking I akan lebih tinggi
hadiahnya daripada yang rangking II. Jadi, mereka terus berlomba.
Mereka rata-rata rangking satu, dan SD-nya lima tahun.

Saya tidak pernah menyogok, baik ketika anak-anak sekolah ataupun mencari
pekerjaan.
Rezeki itu datangnya dari Allah, tidak perlu disogok. Insya Allah, di rumah
ini bersih. Untuk bekerja, anak-anak bilang, "Saya tidak usah bekerja jika
harus menyogok."

*Mengapa tidak berpikir untuk menikah lagi?*

Wah, siapa yang mau mengurus anak sebanyak ini? He...he.... Yang jelas sejak
suami meninggal, saya berjanji untuk melanjutkan perjuangannya dengan
menyekolahkan anak-anak. Bahkan saya pernah bersumpah untuk itu, saat suami
saya di rawat di rumah sakit.

*Apa aktivitas Anda sekarang?*

Saya di rumah saja, kadang ke pasar jaga toko, itu pun tidak serius.
Saya hanya duduk, berdzikir, dan mengaji. Jika di toko, saya kadang
menghabiskan dua juz dari pagi hingga Dhuhur.* (Sarmadani,
Makasar/hidayatullah.com)



***


Nama-nama anak Hj Mulia Kuruseng:

1. Dr Hasmi As'ad (48), alumnus Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanudin (Unhas), saat ini menjadi Kepala Kesehatan Pertamina Wilayah
Sulawesi.

2. Prof DR dr Hj Suryani As'ad, MSc, SpGK (46), profesor muda di
Fakultas Kedokteran Unhas.

3. Dr Indriyati As'ad (44), MM. Dokter umum di LNG Bontang (Kalimantan
Timur), meraih gelar master dari Universitas Mulawarman, Samarinda.

4. Dr Imran As'ad, SpD (42), dokter spesialis penyakit dalam alumnus
Unhas, bertugas di Luwuk.

5. Ir Siswana As'ad (40), bekerja di Kantor Poleko Group, Makassar.

6. Ir Solihin As'ad, MT (39), sedang melanjutkan S-3 di Austria.

7. Wahidin As'ad (37), drop-out Fakultas Ekonomi Unhas, pengusaha sukses
di Makassar.

8. Ir Suriasni As'ad (37), arsitek dari Unhas, kontraktor.

9. Ir Nurrahman As'ad, MT (34), alumnus ITB, dosen di Universitas Islam
Bandung (Unisba).

10. Ir Rahmat Hidayat, MS (33), master dari ITB, kini sedang menempuh
studi doktor di Jepang.

11. Ir Jabbar Ali As'ad (31), dosen Sekolah Tinggi Teknologi (STT)
Baramuli Kabupaten Pinrang.

12. Munir Wahyudi, SE, Ak, MM (29), magister dari Universitas Padjajaran
(Unpad) Bandung, dosen beberapa perguruan tinggi di Bandung.

13. Ir Muhammad Arif As'ad, MM (27), alumnus Fakultas Teknik UGM, gelar
masternya dari ITB, saat ini bekerja pada PT Indika Entertaimen Jakarta.

14. Sumarni Aryani As'ad, SKed (26), alumnus Fakultas Kedokteran Unhas.

15. Letda Kurnia Gunadi (24), alumnus Akademi Angkatan Laut, Surabaya.

Tuesday, April 4, 2006

Cara Sahabat Berinteraksi dengan Alquran

Publisher: Koran Republika

"Generasi pertama terangkat kemuliaannya karena
menempatkan Alquran di atas segala-galanya. Sedangkan
generasi sekarang jatuh kemuliaannya karena
menempatkan Alquran di bawah nafsu dan kehendak
dirinya". (Dr Muhammad Al Ghazali)

Abu Thalhah Al Anshari adalah sosok lelaki ideal.
Wajahnya tampan, badannya atletis, kaya raya pula. Ia
pun menduduki status sosial yang tinggi di
masyarakatnya. Di samping itu, lelaki yang memiliki
nama asli Zaid bin Sahal An Najjary ini dikenal
sebagai penunggang kuda hebat dari Bani Najjar, serta
pemanah jitu dari Yatsrib yang diperhitungkan banyak
orang.

Setelah masuk Islam, praktis semua miliknya
dipersembahkan untuk dakwah: waktu, harta, tenaga,
kedudukan, pemikiran, hingga nyawa. Pengorbanan ini
terus ia lakukan hingga ia berusia lanjut.
Alhamdulillah, suami Ummu Sulaim ini dikaruniai usia
panjang.

Pada zaman Khalifah Usman bin Affan, kaum Muslimin
harus berperang di lautan. Sebagai seorang mujahid
kawakan, Abu Thalhah tentunya tidak mau ketinggalan.
Bersama pasukan kaum Muslimin lainnya, ia bersiap-siap
turut dalam peperangan tersebut.

"Wahai Bapak, Bapak sudah tua. Bapak sudah turut
berjuang bersama Rasulullah SAW, bersama Abu Bakar,
dan Umar bin Khathab. Kini waktunya Bapak
beristirahat. Biarlah kami yang menggantikan Bapak
berperang," ungkap anak-anaknya.

Apa jawaban Abu Thalhah? Ia membaca sebuah ayat
Alquran, ''Berangkatlah kamu dalam keadaan senang dan
susah, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di
jalan Allah. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu menyadari.'' (QS At Taubah [9]: 41).

"Firman ini memerintahkan kita semua, baik tua atau
pun muda, untuk berperang. Allah tidak membatasi usia
seseorang untuk menegakkan agama Allah," lanjut Abu
Thalhah. Ia menolak permintaan anak-anaknya untuk
tinggal di rumah.

Sejarah mencatat, mujahid dakwah ini meninggal di
kapal satu minggu sebelum mencapai daratan. Selama
enam hari di kapal jenazah Abu Thalhah tidak berubah
sedikit pun. Ia telihat seperti sedang tidur pulas.
Subhanallah!

Tiga sikap sahabat
Kisah ini memperlihatkan sosok sahabat yang memiliki
komitmen luar biasa terhadap Alquran. Lihatlah, demi
mengamalkan satu ayat saja (QS At Taubah [9]: 41), ia
rela mengorbankan hartanya yang paling berharga (baca:
nyawa).

Padahal, dilihat dari segi fisik, Abu Thalhah masuk
kelompok yang mendapatkan keringanan untuk tidak
berperang. Namun, ia tidak melakukannya.

Abu Thalhah tidaklah sendirian. Semua sabahat Rasul
memiliki sikap dan perhormatan yang luar biasa
terhadap Alquran. Tak heran bila zaman mereka hidup
menjadi zaman terbaik dalam sejarah manusia.
Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah
kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan
bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya? Demikian
janji Allah dalam QS Al Anbiyaa' [21] ayat 10.

Interaksi mereka terwujud dalam tiga bentuk. Pertama,
mereka menepatkan ayat-ayat Alquran seakan ditujukan
kepada dirinya sendiri. Saat Alquran memerintahkan
sesuatu (shalat, zakat, puasa, menuntut ilmu,
berjihad, dsb), maka mereka menggap perintah itu
ditujukan untuk dirinya, bukan untuk orang lain.
Demikian pula saat Alquran melarang sesuatu, maka
larangan tersebut seakan-akan ditujukan kepada dirinya
sendiri.

Sebuah peristiwa menakjubkan terlihat saat turunnya
ayat yang melarang meminum khamr (minuman keras).
Tanpa banyak tanya, para sahabat membuang dan
menumpahkan botol-botol khamr yang mereka miliki
selama-lamanya. Padahal kebiasaan tersebut sudah
berurat dan berakar dalam kesehariannya.

Kedua, saat berinteraksi dengan Alquran, mereka
meninggalkan ego dan semua atribut keduniawian yang
dimiliki. Tidak ada khalifah, saudagar kaya, pemikir,
panglima perang. Semuanya hamba dhaif di hadapan
kalam-kalam Ilahi. Contoh terbaik adalah Umar bin
Khatbah. Walau menjabat sebagai khalifah yang luas
kekuasaannya, kuat intelegensi, fisik dan keimanannya,
namun saat membaca Alquran ia menganggap dirinya hamba
yang hina dina.

Dikisahkan, Umar pernah terguncangan jiwanya ketika ia
membaca rangkaian QS At Thuur [52] ayat 9-14, ''Pada
hari ketika langit benar-benar bergoncang. Dan gunung
benar-benar berjalan. Maka kecelakaan yang besarlah di
hari itu bagi orang-orang yang mendustakan, (yaitu)
orang-orang yang bermain-main dalam kebatilan. Pada
hari mereka didorong ke neraka Jahanam dengan
sekuat-kuatnya. (Dikatakan kepada mereka), 'Inilah
neraka yang dahulu kamu selalu mendustakannya'.''
Setelah mendengar ayat ini, Umar sakit keras selama
sebulan lebih.

Ketiga, mereka berinteraksi dengan Alquran dalam
bingkai hidayah Allah. Artinya, saat berinteraksi
mereka tidak lepas dari pemahaman untuk tujuan apa
Alquran diturunkan. Allah SWT menurunkan Alquran
sebagai penerang (QS Ali Imran [3]: 138) dan petunjuk
(hudan) bagi orang yang bertakwa (QS Al Baqarah [2]:
2). Inilah fungsi utama. Karena memahami Alquran
sebagai penerang dan petunjuk, maka mereka
berlomba-lomba membaca, menelaah, memahami lalu
mengamalkannya. Mereka yakin hanya dengan Alquran-lah
kebahagiaan di dunia dan akhirat akan mereka gapai.
Karena itu, mereka tidak pernah berbuat, kecuali
perbuatan tersebut selaras dengan Alquran.

Dalam shirah nabawiyyah, kita pun melihat bagaimana
antusiasnya sahabat menantikan turunnya ayat-ayat
Alquran. Saat sebuah ayat turun, mereka berlomba-lomba
membaca, menghapal dan mengamalkannya. Para sahabat
pun memiliki kebiasaan untuk tidak membaca atau
menelaah Alquran, sebelum mereka mengamalkannya
ayat-ayat yang telah dibaca dan ditelaah sebelumnya.

Sebuah perbandingan
Sudah menjadi "rahasia umum" bahwa penyebab kemunduran
kita, baik sebagai sebuah umat maupun sebagai
individu, dipengaruhi oleh rendahnya tingkat interaksi
dengan Alquran. Pola interaksi kita "umumnya" hanya
sebatas lisan (membaca), tanpa melibatkan aspek
lainnya (menghapal, menelaah, memahami, dan
mengamalkan). Walaupun mengamalkan, tidak jarang
pengamalannya masih parsial.

Ada perbandingan menarik dari ulama Mesir, Dr Muhammad
Al Ghazali (alm) tentang pola interaksi generasi
Khulafaur Rasyidin dengan generasi sekarang terhadap
Alquran. "Generasi pertama terangkat kemuliaannya
karena menempatkan Alquran di atas segala-galanya.
Sedangkan generasi sekarang jatuh kemuliaannya karena
menempatkan Alquran di bawah nafsu dan kehendak
dirinya". Wallaahu a'lam.