Monday, February 7, 2005

Andakah Bidadari itu?

Siapa ingin Bidadari dan ingin jadi Bidadari?

PKS JakSel :
Keindahan surga tergambar pada QS Ali’Imran 14 :"Dijadikan indah bagi manusia kecintaan terhadap apa-apa yang diingini (syahwat) dari wanita-wanita, anak-anak dan harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan, Allah, disisi-Nyalah sebaik-baik tempat kembali".

Wanita-wanita surga disebut sebagai bidadari. Yang terbagi menjadi dua yaitu bidadari yang Allah SWT ciptakan langsung sebagai bidadari (sudah ditempatkan di surga) dan wanita-wanita mukmin yang ada di bumi (yang kelak bila masuk surga menjadi bidadari).

Dalam buku Tamasya ke Surga, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menulis, bidadari-bidadari itu adalah wanita suci yang menyenangkan dipandang mata, menyejukkan dilihat dan menentramkan hati setiap pemiliknya. Rupanya cantik jelita, kulitnya mulus. Ia memiliki akhlak yang paling baik, perawan, kaya akan cinta, dan umurnya sebaya.

Dalam surat Ar-Rahman 16, Allah berfirman : "Di dalam surga itu terdapat bidadari-bidadari yang sopan menundukan pandangannya. Tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka. Tidak pula oleh jin".Lalu, siapakah orang yang akan sangat beruntung mendapatkannya?

Ikuti selengkapnya...

Politik Moral Anak Gembala

ttg Hidayat Nur Wahid
(GATRA/Edward Luhukay)

KALAU ada pejabat tinggi yang mau tidur di lantai beralas tikar, dialah Ketua MPR RI Hidayat NurWahid. Ia melakukan setiap kali mengunjungi ibunda, di Dusun KadipatenLor, Desa Kebondalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah.''Mas Nur tidak mau tidur di hotel,'' kata Septi Swastani Setyaningsihadik bungsu Hidayat Nur Wahid yang memanggil kakaknya, Mas Nur itu. Nur Wahid memilih tidur di rumah sederhana seluas 15 meter x 10 meter yang ditempati Nyonya Siti Rahayu, 69 tahun, ibunda Nur Wahid. Tidak ada pernik kemewahan di rumah ini. Ruang tamunya hanya diisi satu meja kursi. Di ruang keluarga cuma ada televisi 14 inci. Di rumah itulah Hidayat Nur Wahid dilahirkan pada 8 April 1960.

Ia adalah putra sulung tujuh bersaudara dari pasangan H. Muhamad Syukridan Siti Rahayu. ''Nama Hidayat Nur Wahid itu pemberian bapaknya,''kata Nyonya Siti Rahayu, 69 tahun. Hidayat berartinya petunjuk, Nur adalah cahaya, dan Wahid artinya satu.Secara nama, Hidayat Nur Wahid merupakan obsesi sekaligus doa dari kedua orangtuanya agar anak sulung ini menjadi petunjuk dan cahaya yang nomor satu. ''Alhamdulilah terkabul,'' kata Siti Rahayu yang menilai Nur Wahid bisa menjadi petunjuk dan cahaya bagi keluarga danadik-adiknya.
Lebih dari itu, Nur Wahid kini menjadi pelopor hidup sederhana di kalangan pejabat tinggi negeri ini.

Latar belakang kehidupan keluarga Nur Wahid sangat mempengaruhi perjalanan hidupnya. Di dusun kelahiran Nur Wahid yang terletak sekitar satu kilometer selatan Candi Prambanan, keluarganya tergolong sebagai pemuka agama. Kakek dari ibunya merupakan tokoh Muhamamdiyah di Prambanan. Ayahnya, H. Muhammad Syukri (almarhum), meski hidup dikultur NU, merupakan salah satu pengurus Muhamadiyah di Klaten. Ibunya aktivis Aisyiah, organisasi wanita Muhammadiyah.

Kedua orangtua Nur Wahid berprofesi guru. Hanya saja, sang ibu berhenti sebagai guru TK ketika anak keduanya lahir. Sedangkan ayahnyaterus berkarir di jalur pendidikan. Mulai menjadi guru SD, SMP, hinggaakhirnya menjadi Kepala Sekolah di STM Prambanan.
Ayahanda Nur Wahid,meninggal enam tahun silam. Sebagai anak guru, Nur Wahid mendapatkan pendidikan yang sangat baik.

Kecerdasan Nur Wahid sudah terlihat sejak masih kanak-kanak. Ia sudah bisa membaca sebelum masuk SD. Kegemarannya membaca itu berlanjut sampai sekarang. Di masa anak-anak dan remaja, Nur Wahid mengaku gemar membaca komik Kho Ping Ho. ''Itu bacaan favorit saya,'' katanya Nur Wahid. Selain keranjingan membaca komik, Hidayat juga suka membaca buku-buku sastra dan sejarah milik ayahnya dan keluarga. Kebetulan, sang bapak adalah sarjana muda lulusan IKIP Negeri Yogyakarta. Sebagian besar anggota keluarga Nur Wahid juga bergerak di bidang pendidikan.''Keluarga besar saya adalah keluarga guru dan karenanya lingkungan saya adalah lingkungan belajar,'' Nur Wahid menegaskan.

Saat sekolah, Nur Wahid terhitung murid yang pintar. Di bangku SDNegeri I Kebondalem Kidul, Prambanan, dia selalu mendapat predikat juara. Meski belajar di SD Negeri, Nur Wahid menambah ilmu agama dengan mengaji di masjid pada malam hari. Selain itu, ia juga belajar membaca Al Quran secara secara privat kepada seorang kiai di desanya.''Kiai saya itu sebenarnya pekerjaan sehari-harinya adalah penjahit.Di sore hari, dia mengajar anak-anak,'' kenang Nur Wahid.

Selain itu,orangtua Nur Wahid juga sudah melatih dirinya berpuasa sejak masih berumur tujuh tahun. Sebenarnya, Nur Wahid cuma disuruh ''puasabeduk'' atau berbuka saat luhur tiba. ''Tapi, setelah berbuka, saya tetap puasa lagi,'' kata Nur Wahid pula.Ia menilai, orangtuanya mendidik anak-anak dengan keras dan disiplin.Nur Wahid harus menjalani jam belajar, jam tidur, dan jam salat secara disiplin. Pernah suatu ketika, Nur Wahid mengenang, dirinya diikat dibawah pohon. Itu karena ia terlambat menjalankan salat.

Nur Wahid juga pernah dihukum dikunci di dalam kamar, karena tidak pergi mengaji.Sesekali Nur Wahid kecil memberontak juga. Misalnya, pada waktu Ramadan, orangtua Nur Wahid mewajibkan tidur siang ''Tapi saya malah pergi diam-diam, bermain sama teman-teman,'' ujarnya Nur Wahid.

Ia juga pernah mengelabui orangtuanya soal waktu berbuka puasa.Pada masa itu, di desa tempat tinggal Nur Wahid belum banyak orang yang punya radio. Televisi juga belum ada yang memiliki. Sedangkan jam belum menjadi tradisi keluarga dan warga di desanya. Maka untukmengetahui kedatangan waktu magrib tiba, orang hanya memakai patokan matahari tenggelam. Kalau cuaca mendung, orang kesulitan menetapkan waktu buka puasa.Warga desa setempat berpatokan pada kelelawar. Bila ada yang terbang berarti magrib telah tiba. Maka Nur Wahid kecil bersama kawan-kawannya menghalau kelelawar yang bersarang di kuncup daun pisang. Terbanglah kekelawar itu. Mereka lantas menunjukkan kelelawar terbang pada orangtuanya. Saat itulah mereka minta berbuka puasa. ''Padahal, sebenarnya magrib belum tiba,'' kata Nur Wahid sambil terkekeh-kekeh mengenang masa kecil.

Selain beban belajar agama, Nur Wahid kecil juga diajar mengenal tanggung jawab pada keluarga. Ketika Nur Wahid duduk di kelas III SD, orangtuanya membelikan seekor kambing. Antara waktu asar hingga magrib, Nur Wahid diharuskan menggembalakan kambing.Dari kegiatan menggembala kambing inilah Hidayat Nur Wahid mengaku belajar banyak hal. Mulai dari belajar bertanggung jawab mencari rumput, ke mana harus menggembalakan kambing, hingga belajar tanggungjawab agar kambing-kambingnya tidak memakan tanaman petani. ''Ketika sedang menggembala kambing, Nur Wahid juga sering mengajari kami mengaji,'' kata Suparman, 45 tahun, kawan sekolah di SD yang juga teman penggembala Nur Wahid kepada waratawan Gatra Mukhlison S Widodo.

Ketika tamat SD tahun 1973, Nur Wahid nyantri di Pondok ModernDarussalam Gontor , Ponorogo, Jawa Timur. Sebelum masuk Gontor, ia sempat mondok di Pondok Pesantren Ngabar, juga Ponorogo. Pesantren ini didirikan salah seorang alumni Gontor. ''Ada yang tidak saya dapatkan di Gontor justru saya peroleh di Ngabar,'' Nur Wahid.Misalnya, di Ngabar Nur Wahid bisa bergabung menjadi anggota PelajarIslam Indonesia (PII). Sementara di Gontor hanya ada OrganisasiPelajar Pondok Modern (OPPM). ''Dengan menjadi anggota PII, kami punya jaringan nasional,'' kata Nur Wahid.

Setelah belajar selama setahun diPondok Ngabar, Nur Wahid baru masuk ke Gontor dan duduk di kelas II.Di Gontor, Nur Wahid termasuk santri cerdas. Ia selalu mendapat ranking atas. ''Karena prestasinya itu, Nur Wahid duduk di Kelas B, kelas yang hanya diisi oleh santri-santri berprestasi,'' kata ZainalArifin, 47 tahun, teman seangkatan Nur Wahid yang kini menjadi ustad di Pondok Modern Gontor. Di sinilah bakat kepemimpinan Nur Wahid semakin terasah. Dengan aktivitas pondok yang padat dan disiplin, jiwa kepemimpinan NurWahid tertempa. Ia mengikuti banyak aktivitas, mulai dari kursus bahasa Inggris dan Arab, juga ikut pengkajian sastra, hingga kursus menjahit.

Nur Wahid kemudian diangkat sebagai Staf Andalan KoordinatorUrusan Kesekretariatan, ketika duduk di Kelas V Podok Gontor. Lulus dari Gontor tahun 1978, Nur Wahid sempat mencicipi bangku Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Tidak lebih dari satu tahun, ia mendapat beasiswa belajar di Univeristas Islam Madinah,Arab Saudi.

Tahun 1990, ia meminang Kastian Indriawati. Saat ini pasangan Hidayat Nur Wahid dan Kastian dikaruniai empat anak. Setelah meraih gelar master dan doktor bidang akidah, tahun 1993, NurWahid kembali ke Tanah Air. Ia menjadi dosen di Universitas Muhamadiyah Jakarta dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayattullah,Jakarta.

Nur Wahid juga aktif dalam berbagai kegiatan dakwah. Serta mengelola sejumlah yayasan berbendera Islam, antara lain YayasanAl-Khoirot dan Yayasan Al-Haramain.Gerakan reformasi 1998, menuntun aktivitas Nur Wahid ke dunia politik praktis Ia tercatat sebagai anggota Dewan Pendiri Partai Keadilan(PK). Pada waktu PK dideklarasikan, ia sebenarnya nyaris didaulat menjadi presiden partai. Nur Wahid menolak karena merasa belum siap. Kemudian Nur Mahmudi Ismail yang diangkat sebagai Presiden PK. NurWahid duduk sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai.

PK pada Pemilu 1999 hanya mendapat suara kurang dari 3% sehingga partai ini sulih nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). NurWahid terpilih sebagai Presiden PKS menggantikan Nur Mahmudi.

Kepemimpinan Nur Wahid di PKS memberikan warna tersendiri dalam peta perpolitikan nasional. Citra PKS sebagai partai bersih danmengedepakan moral, mendapat tempat di masyarakat. Terbukti, Pemilu2004, PKS mendapat 10% suara.Pamor Hidayat Nur Wahid pun semakin mencorong. Politisi bergaya lembut yang mengedepakan moral dan dakwah ini terpilih sebagai Ketua MPR.

Gerakan hidup sederhana pun digulirkan. Selama berlangsung sidang MPR ia menolak menginap di kamar hotel bintang lima.Nur Wahid juga menolak menggunakan mobil Volvo sebagai kendaran dinas.Ia memilih mengendarai mobil pribadinya, Toyota Kijang tahun 2002.Langkah ini kemudian diikuti sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu.

Luqman Hakim Arifin
[Laporan Khusus, Gatra Nomor 13 Beredar 4 Februari 2005]

Sunday, February 6, 2005

Misi Kemanusiaan PKS

Washington Post : Kerja sosial untuk misi kemanusiaan adalah prioritas utama dalam setiap program PKS, yang juga telah memberikan banyak bantuan kemanusiaan saat terjadi banjir dan tanah longsor di Jakarta, dan gempa bumi yang menimpa propinsi paling timur Indonesia Papua.
Meskipun para kader PKS tidak terang-terangan melakukan kampanye, mereka paham bahwa masyarakat telah menaruh simpati pada PKS.

Washington Post : Azmi Fajri Usman, berhenti di camp-camp pengungsi, di pusat kota yang dihuni oleh lebih kurang 2000 pengungsi korban tsunami.
“Assalamu’alaikum,” sapa Usman, seraya mematikan motornya dan mendekat ke arah pengungsi. “Adakah yang memberi bantuan di daerah ini?” tanya Usman.
Para kader PKS yang merupakan relawan terbesar di Indonesia, segera membongkar barang-barang bantuan dan membagi-bagikan kepada pengungsi. Partai ini mengatakan bahwa kegiatan ini adalah misi kemanusiaan dan dan tidak ada unsur politik (Binsar Bakara-AP). “Tidak ada yang membantu kami di sini,” keluh seorang pria yang mengenakan kaos berwarna hitam, dengan masker membalut mulutnya untuk menghindari terjangkitnya penyakit akibat infeksi kuman dari mayat-mayat yang telah membusuk. “Kami tidak memiliki apa-apa di sini, bahkan mie pun kami tidak punya”ratapnya.
Usman, koordinator relawan PKS terus mendekati masyarakat yang memerlukan pertolongan, akibat guncangan gempa dan amukan gelombang tsunami 25 Desember lalu dan menelan 160ribu korban jiwa di sebelas Negara, 110ribu diantaranya adalah rakyat Indonesia. “Tempat ini terlantar” kata Usman (26). “Mereka hanya bisa melihat truk pembawa barang bantuan berlalu lalang, tanpa bisa melakuakn apa-apa, kecuali hanya memandangi truk-truk tersebut” tutur pria bertubuh rendah tersebut.
Kerja sosial untuk misi kemanusiaan adalah prioritas utama dalam setiap program PKS, yang juga telah memberikan banyak bantuan kemanusiaan saat terjadi banjir dan tanah longsor di Jakarta, dan gempa bumi yang menimpa propinsi paling timur Indonesia Papua. Meskipun para kader PKS tidak terang-terangan melakukan kampanye, dan menekankan bahwa apa yang mereka lakukan tidaklah bermisi politis, mereka paham bahwa masyarakat telah menarus simpati pada PKS.

Semboyan tegas dan praktis berarti : bahwa masyarakat Indonesia wajib menolong masyarakat Indonesia lainnya, seorang muslim wajib menolong muslim lainnya. Dan Aceh, propinsi yang paling berat tertimpa gempa, sebagian penduduknya adalah beragama Islam dan telah menerapkan syariat Islam.
PKS telah di terima di Aceh, dan dihampir seluruh wilayah di tanah air. Pemerintah sendiri tampaknya belum memiliki program yang jelas dalam menangani pengungsi, pemerintah lebih suka mengkoordinir para relawan dari pada terjun langsung membantu korban bencana.
PKS sebelumnya dikenal dengan Partai Keadilan (PK), yang didirikan pada tahun 1998, dengan basis massa para mahasiswa dan kaum intelektual. Dengan kader yang terus bertambah hingga menembus angka 3juta, PKS memenangkan pemilu legislatif di Jakarta dan Banda Aceh.

Sebagian kader PKS bahkan berharap bahwa PKS akan memetik kemenangan dalam pemilu presiden 2009 mendatang, dan dapat menerapkan nilai-nilai Islam di Indonesia. Partai yang anggotanya selalu terlihat dimana-dimana dengan menggunakan jaket berlambang 2 bulan sabit mengapit sekuntum padi ini, merupakan partai yang telah menebar relawan terbesar diantar 8000 relawan. 800-1000 relawan PKS telah diterjunkan.
Mereka adalah relawan pertama yang dapat menembus Aceh, dan berusaha menangani bantuan di Aceh pada tanggal 27 Desember, sedang pada tanggal 28 Desember, mereka mendistribusikan bantuan berupa makanan, obat-obatan dan selimut kepada para korban bencana. Acapkali relawan-relan PKS terebut, membawa box-box berisi makanan dan pakaian. Mereka juga turut membersihkan rumah sakit dan sekolah-sekolah. Juga berkumpul dengan anak yatim piatu di sekolah-sekolah madrasah di Aceh.

‘Motto kami adalah bersih dan pedul,’ jelas presiden PKS Tifatul Sembiring. ‘Kerja sosial adalah salah satu cara untuk membuktikan bahwa kami peduli’ lanjut Tifatul. Sebagai seorang politisi dan sebagai seorang pekerja sosial, Usman yang berhasil terpilih sebagai anggota dewan untuk Propinsi Banda Aceh pada pemilu lalu, adalah 1 dari 2000 relawan dari seluruh Indonesia yang telah berada di Aceh untuk memberikan bantuan kepada para korban bencana.

Di paviliun Pusat Kebudayaan di pusat kota, seorang anak muda yang mengenakan baju bergambar Batman, berlari mendekati Usman dan memeluknya. Pria asli Aceh ini dikenal sebagai seorang ustad yang cukup akrab dalam memberikan pelajaran ruhani kepada para remaja, dan mengajarkan anak didiknya tentang Al-Qur’an di sekolah-sekolah Alqur’an. Seorang wanita meminta bantuan berupa satu dus mie instant. Seorang laki-laki berkata bahwa ia membutuhkan tenda. Dan seorang laki-laki lainnya menunjuk pada anaknya yang berusia 10 tahun, yang berhasil bertahan di dalam air selama 10 jam saat tsunami menerjang, dan saat ini membutuhkan pertolongan medis. Usman segera memohon bantuan. Dalam 10 menit, truk Mitsubishi hitam dengan bendera PKS yang berkibaran tiba. Di dalamnya terdapat relawan-relawan lain dari organisasi Islam, Al-Islam, yang mengatakan tujuan mereka bergabung dengan PKS adalah agar misi kemusiaan ini dapat berjalan lebih efektif.
Al-Islam memiliki banyak truk Mitsubishi, namun tidak memiliki banyak relawan. Maka mereka menawarkan bekerja sama dengan PKS, karena mereka yakin bahwa PKS tidak akan korupsi. Segera para relawan PKS mengeluarkan karton-karton berisi telur, beras dan dus-dus berisi pakaian yang bertuliskan pakaian untuk laki-laki, perempuan dan anak-anak.
‘Hal terpenting saat ini adalah menjadi flexible dan jangan saling curiga’ jelas Usman kepada Ardi, koordiantor Al-Islam yang peduli dalam menolong 200 pengungsi secara cepat. ‘Ya, kita butuh lebih banyak relawan’ pinta Ardi. ‘Baik, saya akan kirimkan lebih banyak relawan kemari’ sanggup Usman, seraya mengeluarkan alat komunikasi dari dalam sakunya. Usman dan partainya, berusaha untuk berperan secara moderat. Meskipun para pemimpin PKS ingin menerapkan nilai-nilai Islam, mereka tidak memaksakan kehendaknya dalam kampanye politik. Mereka lebih suka untuk menjalankan nilai-nilai Islam itu terlebih dahulu. Tetapi dalam poster-poster dan percakapan sehari-hari, terlihat mereka menaruh curiga pada aktifis-aktifis Kristen. Salah satu spanduk yang terpampang di dinding-dinding sekolah dipenjuru kota Aceh, berisikan peringatan bahwa anak-anak tidak boleh diasuh oleh orang-orang kafir yaitu orang-orang Kristen dan para misionaris, yang ingin membawa pergi anak-anak Aceh dan mengkristenkan mereka. ‘Masalahnya orang-orang Nasrani itu berusaha untuk mengkristenkan mereka‘ terang Usman. ‘Yang membuat orang Aceh marah adalah saat agama mereka diutak-atik’ tambahnya.

Usman yang menikah dengan seorang dokter 3 bulan lalu, mengatakan bahwa alasannya bergabung dengan PKS adalah karena PKS tidak hanya berusaha untuk memupuk kedekatan pada Alllah SWT, tapi juga berusaha untuk membina hubungan baik dengan manusia. Ia juga mengatakan bahwa kader-kader PKS adalah kader yang religius sekaligus cerdas.

Menurut Usman Allah SWT terus menguji masyarakat Aceh. ‘Mereka telah menderita lama sejak masa kolonialisasi Belanda, kemudian diuji oleh konflik antara pemerintah dan pemberontak. Dan sekarang Allah SWT mengujinya dengan bencana alam’ urai Usman. ‘Gempa dan badai tsunami adalah ujian dari Allah, agar rakyat Aceh kembali kepada ajaran Islam. Kembali kepada ajaran Islam dapat menghapus segala masalah yang terjadi di propinsi ini.’ Ungkap Usman. Usman mengatakan bahwa PKS telah memberikan bantuan makanan dan peralatan sekolah kepada para pengungsi dan berharap tidak akan ada lagi gerakan separatis di Aceh.

Translated By: Ningsih Original title: Indonesian Islamic Party Reaps Rewards of Goodwill Extensive Relief Work In Aceh Wins Sympathy—and Votes By. Ellen Nakashima The Company Washington Post, http://www.washingtonpost.com/, January 14, 2005.

Cat.Perjalanan dr.Arif

Kira-kira pukul 9 pagi. Pulang dari mengantar ibu ke bandara, kegiatan rutinku hampir setiap pagi adalah mengecek e-mail yang masuk. Telepon rumah tiba-tiba berbunyi. Seorang perawat LKC (Layanan KesehatanCuma-Cuma Dompet Dhu’afa Republika)—tempat aku bekerja—yang menelepon.“Dokter Apin, kata Dokter Joe, antum berminat pergi ke Aceh. Bisa pergi?”“Kapan?”“Sore ini.”Setelah menerima informasi “gagal” pergi ke NangroeAceh Darussakam dengan sebuah lembaga non pemerintah(NGO), muncul tawaran ini. Tanpa butuh berpikir lama,aku terima saja.“Kita pergi dengan apa?”“Dengan ambulans, lewat jalan darat.

”Sore itu, tepat sebelum maghrib, LKC melepas kepergian kami. Sebuah tim gabungan yang terdiri atas tim LKC dan tim ACT (Aksi Cepat Tanggap) DD REPUBLIKA. LKC danACT memang lembaga yang berada di bawah bendera DD REPUBLIKA. Tim LKC terdiri atas empat orang: 1dokter—aku sendiri, seorang perawat, satu orang driver, dan seorang relawan, yang aku kenal kemudian sebagai kader DPC Kebayoran Baru. Sedangkan tim ACT terdiri atas 5 orang. Mereka menggunakan satu buah kijang hijau yang bercatkan nama lembaga ini. Sebuah spanduk lebar dipasang di atas kap mobil “Bantuan Kemanusiaan Gempa dan Tsunami Aceh-Sumut”.

Aku mulai saja dengan hal menarik pertama yang kudapatkan. Akh relawan kami ternyata meninggalkan istrinya yang sedang hamil tua, dan diperkirakan anak keduanya akan lahir tanggal 7 Januari lalu. Pasangan suami-istri mujahid ini rela saling mengikhlaskan kepergian sang suami untuk sebuah misi kemanusiaan. Ikhwan satu ini memang sudah mempersiapkan dirinya untuk tidak melihat kelahiran si bayi, karena merencakan kepergiannya di Aceh memakan waktu beberapa pekan. Subhanalloh.

Malam harinya kami menyeberang dari Merak hingga Belawan, Lampung. Melewati waktu subuh di sekitarBandar Lampung, kami segera meneruskan perjalanan setelah beristirahat sejenak.Kamis, 30 Desember 2004 Saat kami beristirahat di sebuah rumah makan di Lampung, kami bertemu dengan rombongan 30 mobil polisi pengangkut yang dibawa beriringan langsung dari KelapaDua, Jakarta. Kami meminta izin kepada beberapa personil polisi untuk bisa melakukan perjalanan konvoi dengan mereka, dengan alasan keamanan (melewati jalan-jalan lintas Sumatra) dan memang kami belum merencanakan rute perjalanan dengan baik. Kami pun menjadi rombongan ekor mereka. Dengan kecepatan rata-rata 100 km/jam, kami mengikuti rombongan panjang mobil polisi ini. Beberapa kali kami memang sengaja memisahkan diri dengan mereka, untuk makan dan istirahat, namun segera bisa menyusulnya begitu mendengar suara sirine panjang di kejauhan. Sampai akhirnya sore hari kami terpisah di daerah Sumatra Selatan. Jalur yang kami tempuh adalah Lintas Timur.

Jum’at 31 Desember 2004 Tidak banyak hal istimewa yang bisa diceritakan dalam perjalanan darat menuju NAD selama 3 hari 3 malam ini.Yang jelas pada tanggal ini kami melewati Jambi, Riau,hingga Sumatra Utara di malam harinya. Alhamdulillah perjalanan kami aman-aman saja. Tidak sampai menemui begal di tengah-tengah perjalanan, walaupun kami tetap meneruskan perjalanan sekalipun malam hari. Untungnya dari dua mobil yang kami bawa ini, kami mempunyai 4orang driver yang saling bergantian mengemudi, sehingga perjalanan tidak banyak terhenti. Buatku pribadi, ini adalah perjalanan pertama kalinya melintasi Pulau Sumatra dari ujung ke ujung via jalan darat. Aku bisa merasakan panjangnya jalan di pinggir hutan Sumsel dan Jambi, jalanan naik-turun sepanjang Riau, kilang dan pipa-pipa minyak besar milik Caltexdi sepanjang Riau, dan banjir yang cukup menegangkan di daerah Sei Rokan.Pengalaman menyenangkan lain untukku adalah bisa mencicipi masakan khas daerah bersangkutan setiap kali kami berhenti untuk makan. Malamnya kami melewatkan pergantian tahun baru masehi menuju kota Medan.

Sabtu, 1 Januari 2005 Pagi hari kami tiba di Medan. Kota yang utamanya menjadi transit bagi para relawan sebelum memasukiAceh. Kami beristirahat sebentar di sebuah rumah yang katanya sekretariat HMI, sambil membersihkan diri dan membeli beberapa kebutuhan logistik untuk dibawa ke Aceh. Karena informasi yang kami terima menyebutkan sulitnya mendapatkan bahan bakar dan makanan di sana. Selepas waktu dzuhur, kami melaju menuju Aceh. Melewati perbatasan Sumut-NAD, kami mulai memasukiAceh Timur. Subhanalloh, sepanjang perjalanan dikiri-kanan jalan, mudah sekali ditemui masjid besar dipinggir jalan yang tampaknya sudah lama berdiri. Jika dirata-rata, mungkin setiap 5 kilometer. Inilah daerah seribu masjid, demikian yang terlintas dalam benakku. Aceh adalah daerah yang luar biasa subur, dengan sawah menghijau terhampar di kiri-kanan, dan di kejauhan dikelilingi oleh barisan pegunungan. Namun rakyatnya miskin-miskin, rawan konflik, dan penuh dengan militer.Adalah pemandangan yang amat biasa melihat panser-panser melintasi jalanan dengan senapan mesin yang diacungkan lurus ke depan. Setiap beberapa kilometer mudah ditemui posko-posko angkatan darat dipinggir jalan, dengan beberapa orang berseragam hijau-hijau berkelompok berjalan-jalan dengan senapan laras panjang terisi. Untungnya kami tidak mendapatkan inspeksi-inspeksi yang mengharuskan berhenti sejenak di pinggir jalan. Ada sedikit perasaan tidak nyaman pula melewati jalanan sepanjang Aceh Timur ini. Seringkita dengar dari media massa, tidak mustahil GAM muncul tiba-tiba. Syari’at Islam memang tampak dijalankan dari penampakan luar Aceh. Para wanitanya mengenakan kerudung atau jilbab. Tidak satu pun wanita mengenakan pakaian pendek. Di beberapa papan billboard pinggir jalan dijelaskan bahwa mereka yang tidak berbusanaIslam akan dikenai hukuman ta’dzir. Jadi tampaknya masyarakat Aceh menjalankan syari’at dengan setengah hati, karena paksaan. Sebelum bencana, razia pakaian ini diketatkan, sehingga wanita takut terkena. Namun setelah bencana menjadi lebih longgar. Sehingga masih ada wanita yang tidak mengenakan kerudung. NuansaIslami lainnya adalah tulisan-tulisan Arab gundul berbahasa Indonesia yang menyertai setiap nama tempat-tempat umum.

Malamnya, sekitar ba’da maghrib, kami tiba di kotaLhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, tempat posko ACT DDREPUBLIKA berada. Kami menempati beberapa kamar dalam sebuah wisma di tengah kota. Mulai beristirahat, besok pagi misi akan dimulai.Ahad, 2 Januari 2005Kami mulai perjalanan menggunakan mobil ACT menujukota Sigli, Kabupaten Pidie. Waktu yang ditempuh sekitar 3 jam perjalanan. Rute perjalanannya adalah: Lhokseumawe, Kab. Aceh Utara—Kab. Bireuen—Sigli,Kab.Pidie. Memasuki daerah Bireuen, tampak tenda-tendapos pengungsi tersebar di kiri-kanan jalan. Mereka kebanyakan menggunakan masjid dan sekolah, atau lapangan besar sebagai tempat pengungsian. Tidak sedikit tentara yang menjaga pos-pos pengungsi tersebut.Di beberapa ruas jalan tampak retakan yang menandakan bekas gempa tektonik. Namun jalanan masih mudah untuk dilalui.

Memasuki Kabupaten Pidie, tampak pinggir laut berada beberapa kilometer di sebelahkanan. Kerusakan bekas Tsunami terlihat begitu nyata.Rumah-rumah yang rata dengan tanah, sawah-sawah dantambak yang rusak, bahkan kapal nelayan yang terlemparmelintasi jalan raya hingga ke seberangnya! Namunkebesaran Alloh masih tampak di sini. Tidak satu punjembatan-jembatan yang menghubungkan jalan utama rusak. Terlintas di benakku, Alloh memerintahkan kepada para malaikat untuk menjaga jalan-jalan penghubung utama ini, agar kelak memudahkan mengirim bantuan.

Pemandangan lain adalah iring-iringan truk dan mobil PKS yang bergantian melintasi membawa bantuan disepanjang jalan. PKS memang raja jalanan! Setibanya di Posko ACT di Sigli, tepat di seberangPosko Darurat Bantuan Aceh DPD PKS Kota Sigli, tim LKCmenggabungkan diri dengan tim kesehatan DPD yang juga gabungan dengan ikhwah BSMI Sumatra Utara, untuk segera mengadakan bakti sosial kesehatan di pos-pos pengungsi.

Kawan-kawan dari BSMI Sumut ini sudah tiba sejak sehari pasca bencana. Menariknya, tidak satu pun dari mereka adalah dokter. Pemimpin pasukannya bahkan seorang mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU yang mengaku sebagai dokter. Pasukannya adalah 5 orang akhwat dari berbagai fakultas di USU. Tapi pasukan ini sudah melewati perjalanan cukup berat mengadakan baksos di tempat pengungsian sebelumnya. Salah satu yang paling rawan adalah mereka pernah mengadakan perjalanan menuju pos pengungsi untuk mengadakan baksos di sebuah daerah pegunungan yang rawan GAM, yakni di daerah Batee. Akhwatnya harus jatuh bangun mendaki gunung yang cukup licin. Subhanalloh. Mereka tim yang cukup berani. Pos pengungsian yang ada memang berada dekat Posko Marinir. Tetapi seharusnya lebih rawan kontak senjata dengan demikian.Tim dari DPD Kota Sigli sendiri dipimpin oleh sang istri Ketua DPD, seorang mahasiswa kedokteran Unsyiah Banda Aceh. Mereka pasangan baru menikah. Rumah pasangan suami-istri ini sendiri sebenarnya rusak terkena bencana, namun mereka tidak larut dalam kesedihan itu, dan segera bergerak mengkoordinir bantuan untuk daerah mereka.

Tim gabungan ini bergerak menggunakan ambulans LKC dan mobil kijang ACT menujupos-pos pengungsian di Kecamatan Ulim, KabupatenPidie.Navigator kami adalah sang ketua DPC Kec.Meureudu, seorang Bapak berusia 45 tahun yang tidak kenal lelah mengantarkan para relawan setiap harinya.

Kami memulai mendirikan posko untuk pemeriksaankesehatan di sebuah sekolah di Kecamatan Ulim, sekitarpukul 11.00 WIB. Jumlah pasien yang dilayani sekitar50-60 orang, mulai dari balita hingga dewasa. Untungnya kami membawa ambulans LKC dari Ciputat. Sehingga kami bisa membawa pasien untuk dirujuk keRSUD Sigli yang alhamdulillah tetap berfungsi penuh.Mayoritas penghuni ini berasal dari daerah tepat dipinggir pantai, dan sebagian berprofesi sebagai nelayan. Latar belakang ekonomi dan pendidikan mereka memang kurang. Sedikit sekali yang bisa berbahasaIndonesia. Untungnya kami membawa kader-kader PKS yang bisa menjadi penerjemah.

Berbekalkan pendidikan yang minim, mereka juga tidak mengetahui kesehatan dengan baik. Kami merujuk seorang anak berusia sekitar 6tahun yang terkena tetanus. Karena ketidaktahuan si Ibu, anaknya yang sudah mengalami kejang hingga leher dan tidak dapat menggerakan mulutnya ini, dibiarkan saja. Untungnya kami bisa membawanya ke RS.Pasien lain yang kami rujuk adalah kakak anak laki-laki iniyang menderita gejala serupa namun tidak khas, dan anak lain yang mengalami kesulitan buang air kecil karena penyakit batu di saluran kemihnya. Sebenarnya kami tidak puas dengan pelayanan kesehatan macam ini, karena sifatnya hit and run.

Selesai mengadakan baksos sementara, kami meninggalkan tempat ini untuk mencari titik lain yang belum tersentuh pelayanan kesehatan. Idealnya dalam satu pos pengungsian terdapat satu posko kesehatan yang standby setiap harinya. Tugasnya tidak hanya mengobati pasiendengan penyakit khas seperti infeksi saluran napas atas (ISPA), diare, atau penyakit kulit saja, tetapi juga memberikan penyuluhan higiene dan sanitasi lingkungan yang baik, agar tidak terjadi wabah penyakit setelah beberapa lama berada di pengungsian. Kami juga tidak membawa persediaan susu bayi dan balita yang sesuai umur. Padahal mereka sangat membutuhkannya.

Titik kedua yang kami tuju adalah sebuah Sekolah Dasaryang dijadikan tempat pengungsian. Kegiatan kami tidak berbeda dengan pos sebelumnya. Sebagai titik terakhir hari itu kami mendatangi satu pos di Kecamatan Jangkabuya, masih di Pidie. Alhamdulillah, dua orang perawat dari Puskesmas setempat telah mendirikan posko kesehatan dan tinggal hingga sore hari. Kami sangat bersyukur, akhirnya ada kader kesehatan setempat yang telah bergerak. Kami tidak mengadakan pengobatan.Hanya mengunjungi seorang pengungsi yang berada disebuah rumah penduduk, dan menjanjikan untuk dapatdirujuk keesokan harinya.Sudah hampir maghrib. Aku hanya teringat ketika menjumpai seorang bapak tua saat pengobatan di SD Kec. Ulim, ia menyampaikan dengan nada haru bahwa mungkin saat itu adalah saat pertama sekaligus terakhir kami bertemu.

Malam hari sekitar pukul 22.00, dengan sebuah perjalanan yang tidak direncanakan sebelumnya, kami bergerak menuju kota Banda Aceh. Ditemani tiga orangkader Kepanduan DPW Sumut yang telah direkrut ACT,kami melaju dalam mobil kijang di tengah kegelapan malam. Lewat tengah malam kami tiba di Lambaro,sekitar 3 km menuju Banda Aceh. Inilah tempat hampir semua relawan dari berbagai daerah berkumpul. Posko-posko berserakan di ruko-ruko yang ada. Mulai dari DPD PKS setempat yang menampung ratusan kader
dari berbagai daerah termasuk dari Jakarta yang diberangkatkan dengan Hercules sore harinya,tenda-tenda BSMI yang berada di lapangan samping DPDtempat sekitar seratusan pengungsi berada, poskoBAZNAS, PKPU, ACT, dan banyak lagi.

Tidak lama berdiam diri, kami meneruskan perjalanan ke RS KESDAM BandaAceh, satu-satunya RS di kota Banda yang berfungsi saat itu, untuk menemui pimpinan LKC yang sudah berada di sini sejak beberapa hari sebelumnya. Ia adalah seorang spesialis anak yang berangkat bersamarombongan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) danDepkes. Kembali ke Lambaro, kami melepas lelah ditenda posko PKS di lapangan.