Sunday, February 6, 2005

Cat.Perjalanan dr.Arif

Kira-kira pukul 9 pagi. Pulang dari mengantar ibu ke bandara, kegiatan rutinku hampir setiap pagi adalah mengecek e-mail yang masuk. Telepon rumah tiba-tiba berbunyi. Seorang perawat LKC (Layanan KesehatanCuma-Cuma Dompet Dhu’afa Republika)—tempat aku bekerja—yang menelepon.“Dokter Apin, kata Dokter Joe, antum berminat pergi ke Aceh. Bisa pergi?”“Kapan?”“Sore ini.”Setelah menerima informasi “gagal” pergi ke NangroeAceh Darussakam dengan sebuah lembaga non pemerintah(NGO), muncul tawaran ini. Tanpa butuh berpikir lama,aku terima saja.“Kita pergi dengan apa?”“Dengan ambulans, lewat jalan darat.

”Sore itu, tepat sebelum maghrib, LKC melepas kepergian kami. Sebuah tim gabungan yang terdiri atas tim LKC dan tim ACT (Aksi Cepat Tanggap) DD REPUBLIKA. LKC danACT memang lembaga yang berada di bawah bendera DD REPUBLIKA. Tim LKC terdiri atas empat orang: 1dokter—aku sendiri, seorang perawat, satu orang driver, dan seorang relawan, yang aku kenal kemudian sebagai kader DPC Kebayoran Baru. Sedangkan tim ACT terdiri atas 5 orang. Mereka menggunakan satu buah kijang hijau yang bercatkan nama lembaga ini. Sebuah spanduk lebar dipasang di atas kap mobil “Bantuan Kemanusiaan Gempa dan Tsunami Aceh-Sumut”.

Aku mulai saja dengan hal menarik pertama yang kudapatkan. Akh relawan kami ternyata meninggalkan istrinya yang sedang hamil tua, dan diperkirakan anak keduanya akan lahir tanggal 7 Januari lalu. Pasangan suami-istri mujahid ini rela saling mengikhlaskan kepergian sang suami untuk sebuah misi kemanusiaan. Ikhwan satu ini memang sudah mempersiapkan dirinya untuk tidak melihat kelahiran si bayi, karena merencakan kepergiannya di Aceh memakan waktu beberapa pekan. Subhanalloh.

Malam harinya kami menyeberang dari Merak hingga Belawan, Lampung. Melewati waktu subuh di sekitarBandar Lampung, kami segera meneruskan perjalanan setelah beristirahat sejenak.Kamis, 30 Desember 2004 Saat kami beristirahat di sebuah rumah makan di Lampung, kami bertemu dengan rombongan 30 mobil polisi pengangkut yang dibawa beriringan langsung dari KelapaDua, Jakarta. Kami meminta izin kepada beberapa personil polisi untuk bisa melakukan perjalanan konvoi dengan mereka, dengan alasan keamanan (melewati jalan-jalan lintas Sumatra) dan memang kami belum merencanakan rute perjalanan dengan baik. Kami pun menjadi rombongan ekor mereka. Dengan kecepatan rata-rata 100 km/jam, kami mengikuti rombongan panjang mobil polisi ini. Beberapa kali kami memang sengaja memisahkan diri dengan mereka, untuk makan dan istirahat, namun segera bisa menyusulnya begitu mendengar suara sirine panjang di kejauhan. Sampai akhirnya sore hari kami terpisah di daerah Sumatra Selatan. Jalur yang kami tempuh adalah Lintas Timur.

Jum’at 31 Desember 2004 Tidak banyak hal istimewa yang bisa diceritakan dalam perjalanan darat menuju NAD selama 3 hari 3 malam ini.Yang jelas pada tanggal ini kami melewati Jambi, Riau,hingga Sumatra Utara di malam harinya. Alhamdulillah perjalanan kami aman-aman saja. Tidak sampai menemui begal di tengah-tengah perjalanan, walaupun kami tetap meneruskan perjalanan sekalipun malam hari. Untungnya dari dua mobil yang kami bawa ini, kami mempunyai 4orang driver yang saling bergantian mengemudi, sehingga perjalanan tidak banyak terhenti. Buatku pribadi, ini adalah perjalanan pertama kalinya melintasi Pulau Sumatra dari ujung ke ujung via jalan darat. Aku bisa merasakan panjangnya jalan di pinggir hutan Sumsel dan Jambi, jalanan naik-turun sepanjang Riau, kilang dan pipa-pipa minyak besar milik Caltexdi sepanjang Riau, dan banjir yang cukup menegangkan di daerah Sei Rokan.Pengalaman menyenangkan lain untukku adalah bisa mencicipi masakan khas daerah bersangkutan setiap kali kami berhenti untuk makan. Malamnya kami melewatkan pergantian tahun baru masehi menuju kota Medan.

Sabtu, 1 Januari 2005 Pagi hari kami tiba di Medan. Kota yang utamanya menjadi transit bagi para relawan sebelum memasukiAceh. Kami beristirahat sebentar di sebuah rumah yang katanya sekretariat HMI, sambil membersihkan diri dan membeli beberapa kebutuhan logistik untuk dibawa ke Aceh. Karena informasi yang kami terima menyebutkan sulitnya mendapatkan bahan bakar dan makanan di sana. Selepas waktu dzuhur, kami melaju menuju Aceh. Melewati perbatasan Sumut-NAD, kami mulai memasukiAceh Timur. Subhanalloh, sepanjang perjalanan dikiri-kanan jalan, mudah sekali ditemui masjid besar dipinggir jalan yang tampaknya sudah lama berdiri. Jika dirata-rata, mungkin setiap 5 kilometer. Inilah daerah seribu masjid, demikian yang terlintas dalam benakku. Aceh adalah daerah yang luar biasa subur, dengan sawah menghijau terhampar di kiri-kanan, dan di kejauhan dikelilingi oleh barisan pegunungan. Namun rakyatnya miskin-miskin, rawan konflik, dan penuh dengan militer.Adalah pemandangan yang amat biasa melihat panser-panser melintasi jalanan dengan senapan mesin yang diacungkan lurus ke depan. Setiap beberapa kilometer mudah ditemui posko-posko angkatan darat dipinggir jalan, dengan beberapa orang berseragam hijau-hijau berkelompok berjalan-jalan dengan senapan laras panjang terisi. Untungnya kami tidak mendapatkan inspeksi-inspeksi yang mengharuskan berhenti sejenak di pinggir jalan. Ada sedikit perasaan tidak nyaman pula melewati jalanan sepanjang Aceh Timur ini. Seringkita dengar dari media massa, tidak mustahil GAM muncul tiba-tiba. Syari’at Islam memang tampak dijalankan dari penampakan luar Aceh. Para wanitanya mengenakan kerudung atau jilbab. Tidak satu pun wanita mengenakan pakaian pendek. Di beberapa papan billboard pinggir jalan dijelaskan bahwa mereka yang tidak berbusanaIslam akan dikenai hukuman ta’dzir. Jadi tampaknya masyarakat Aceh menjalankan syari’at dengan setengah hati, karena paksaan. Sebelum bencana, razia pakaian ini diketatkan, sehingga wanita takut terkena. Namun setelah bencana menjadi lebih longgar. Sehingga masih ada wanita yang tidak mengenakan kerudung. NuansaIslami lainnya adalah tulisan-tulisan Arab gundul berbahasa Indonesia yang menyertai setiap nama tempat-tempat umum.

Malamnya, sekitar ba’da maghrib, kami tiba di kotaLhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, tempat posko ACT DDREPUBLIKA berada. Kami menempati beberapa kamar dalam sebuah wisma di tengah kota. Mulai beristirahat, besok pagi misi akan dimulai.Ahad, 2 Januari 2005Kami mulai perjalanan menggunakan mobil ACT menujukota Sigli, Kabupaten Pidie. Waktu yang ditempuh sekitar 3 jam perjalanan. Rute perjalanannya adalah: Lhokseumawe, Kab. Aceh Utara—Kab. Bireuen—Sigli,Kab.Pidie. Memasuki daerah Bireuen, tampak tenda-tendapos pengungsi tersebar di kiri-kanan jalan. Mereka kebanyakan menggunakan masjid dan sekolah, atau lapangan besar sebagai tempat pengungsian. Tidak sedikit tentara yang menjaga pos-pos pengungsi tersebut.Di beberapa ruas jalan tampak retakan yang menandakan bekas gempa tektonik. Namun jalanan masih mudah untuk dilalui.

Memasuki Kabupaten Pidie, tampak pinggir laut berada beberapa kilometer di sebelahkanan. Kerusakan bekas Tsunami terlihat begitu nyata.Rumah-rumah yang rata dengan tanah, sawah-sawah dantambak yang rusak, bahkan kapal nelayan yang terlemparmelintasi jalan raya hingga ke seberangnya! Namunkebesaran Alloh masih tampak di sini. Tidak satu punjembatan-jembatan yang menghubungkan jalan utama rusak. Terlintas di benakku, Alloh memerintahkan kepada para malaikat untuk menjaga jalan-jalan penghubung utama ini, agar kelak memudahkan mengirim bantuan.

Pemandangan lain adalah iring-iringan truk dan mobil PKS yang bergantian melintasi membawa bantuan disepanjang jalan. PKS memang raja jalanan! Setibanya di Posko ACT di Sigli, tepat di seberangPosko Darurat Bantuan Aceh DPD PKS Kota Sigli, tim LKCmenggabungkan diri dengan tim kesehatan DPD yang juga gabungan dengan ikhwah BSMI Sumatra Utara, untuk segera mengadakan bakti sosial kesehatan di pos-pos pengungsi.

Kawan-kawan dari BSMI Sumut ini sudah tiba sejak sehari pasca bencana. Menariknya, tidak satu pun dari mereka adalah dokter. Pemimpin pasukannya bahkan seorang mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU yang mengaku sebagai dokter. Pasukannya adalah 5 orang akhwat dari berbagai fakultas di USU. Tapi pasukan ini sudah melewati perjalanan cukup berat mengadakan baksos di tempat pengungsian sebelumnya. Salah satu yang paling rawan adalah mereka pernah mengadakan perjalanan menuju pos pengungsi untuk mengadakan baksos di sebuah daerah pegunungan yang rawan GAM, yakni di daerah Batee. Akhwatnya harus jatuh bangun mendaki gunung yang cukup licin. Subhanalloh. Mereka tim yang cukup berani. Pos pengungsian yang ada memang berada dekat Posko Marinir. Tetapi seharusnya lebih rawan kontak senjata dengan demikian.Tim dari DPD Kota Sigli sendiri dipimpin oleh sang istri Ketua DPD, seorang mahasiswa kedokteran Unsyiah Banda Aceh. Mereka pasangan baru menikah. Rumah pasangan suami-istri ini sendiri sebenarnya rusak terkena bencana, namun mereka tidak larut dalam kesedihan itu, dan segera bergerak mengkoordinir bantuan untuk daerah mereka.

Tim gabungan ini bergerak menggunakan ambulans LKC dan mobil kijang ACT menujupos-pos pengungsian di Kecamatan Ulim, KabupatenPidie.Navigator kami adalah sang ketua DPC Kec.Meureudu, seorang Bapak berusia 45 tahun yang tidak kenal lelah mengantarkan para relawan setiap harinya.

Kami memulai mendirikan posko untuk pemeriksaankesehatan di sebuah sekolah di Kecamatan Ulim, sekitarpukul 11.00 WIB. Jumlah pasien yang dilayani sekitar50-60 orang, mulai dari balita hingga dewasa. Untungnya kami membawa ambulans LKC dari Ciputat. Sehingga kami bisa membawa pasien untuk dirujuk keRSUD Sigli yang alhamdulillah tetap berfungsi penuh.Mayoritas penghuni ini berasal dari daerah tepat dipinggir pantai, dan sebagian berprofesi sebagai nelayan. Latar belakang ekonomi dan pendidikan mereka memang kurang. Sedikit sekali yang bisa berbahasaIndonesia. Untungnya kami membawa kader-kader PKS yang bisa menjadi penerjemah.

Berbekalkan pendidikan yang minim, mereka juga tidak mengetahui kesehatan dengan baik. Kami merujuk seorang anak berusia sekitar 6tahun yang terkena tetanus. Karena ketidaktahuan si Ibu, anaknya yang sudah mengalami kejang hingga leher dan tidak dapat menggerakan mulutnya ini, dibiarkan saja. Untungnya kami bisa membawanya ke RS.Pasien lain yang kami rujuk adalah kakak anak laki-laki iniyang menderita gejala serupa namun tidak khas, dan anak lain yang mengalami kesulitan buang air kecil karena penyakit batu di saluran kemihnya. Sebenarnya kami tidak puas dengan pelayanan kesehatan macam ini, karena sifatnya hit and run.

Selesai mengadakan baksos sementara, kami meninggalkan tempat ini untuk mencari titik lain yang belum tersentuh pelayanan kesehatan. Idealnya dalam satu pos pengungsian terdapat satu posko kesehatan yang standby setiap harinya. Tugasnya tidak hanya mengobati pasiendengan penyakit khas seperti infeksi saluran napas atas (ISPA), diare, atau penyakit kulit saja, tetapi juga memberikan penyuluhan higiene dan sanitasi lingkungan yang baik, agar tidak terjadi wabah penyakit setelah beberapa lama berada di pengungsian. Kami juga tidak membawa persediaan susu bayi dan balita yang sesuai umur. Padahal mereka sangat membutuhkannya.

Titik kedua yang kami tuju adalah sebuah Sekolah Dasaryang dijadikan tempat pengungsian. Kegiatan kami tidak berbeda dengan pos sebelumnya. Sebagai titik terakhir hari itu kami mendatangi satu pos di Kecamatan Jangkabuya, masih di Pidie. Alhamdulillah, dua orang perawat dari Puskesmas setempat telah mendirikan posko kesehatan dan tinggal hingga sore hari. Kami sangat bersyukur, akhirnya ada kader kesehatan setempat yang telah bergerak. Kami tidak mengadakan pengobatan.Hanya mengunjungi seorang pengungsi yang berada disebuah rumah penduduk, dan menjanjikan untuk dapatdirujuk keesokan harinya.Sudah hampir maghrib. Aku hanya teringat ketika menjumpai seorang bapak tua saat pengobatan di SD Kec. Ulim, ia menyampaikan dengan nada haru bahwa mungkin saat itu adalah saat pertama sekaligus terakhir kami bertemu.

Malam hari sekitar pukul 22.00, dengan sebuah perjalanan yang tidak direncanakan sebelumnya, kami bergerak menuju kota Banda Aceh. Ditemani tiga orangkader Kepanduan DPW Sumut yang telah direkrut ACT,kami melaju dalam mobil kijang di tengah kegelapan malam. Lewat tengah malam kami tiba di Lambaro,sekitar 3 km menuju Banda Aceh. Inilah tempat hampir semua relawan dari berbagai daerah berkumpul. Posko-posko berserakan di ruko-ruko yang ada. Mulai dari DPD PKS setempat yang menampung ratusan kader
dari berbagai daerah termasuk dari Jakarta yang diberangkatkan dengan Hercules sore harinya,tenda-tenda BSMI yang berada di lapangan samping DPDtempat sekitar seratusan pengungsi berada, poskoBAZNAS, PKPU, ACT, dan banyak lagi.

Tidak lama berdiam diri, kami meneruskan perjalanan ke RS KESDAM BandaAceh, satu-satunya RS di kota Banda yang berfungsi saat itu, untuk menemui pimpinan LKC yang sudah berada di sini sejak beberapa hari sebelumnya. Ia adalah seorang spesialis anak yang berangkat bersamarombongan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) danDepkes. Kembali ke Lambaro, kami melepas lelah ditenda posko PKS di lapangan.