Tuesday, April 4, 2006

Cara Sahabat Berinteraksi dengan Alquran

Publisher: Koran Republika

"Generasi pertama terangkat kemuliaannya karena
menempatkan Alquran di atas segala-galanya. Sedangkan
generasi sekarang jatuh kemuliaannya karena
menempatkan Alquran di bawah nafsu dan kehendak
dirinya". (Dr Muhammad Al Ghazali)

Abu Thalhah Al Anshari adalah sosok lelaki ideal.
Wajahnya tampan, badannya atletis, kaya raya pula. Ia
pun menduduki status sosial yang tinggi di
masyarakatnya. Di samping itu, lelaki yang memiliki
nama asli Zaid bin Sahal An Najjary ini dikenal
sebagai penunggang kuda hebat dari Bani Najjar, serta
pemanah jitu dari Yatsrib yang diperhitungkan banyak
orang.

Setelah masuk Islam, praktis semua miliknya
dipersembahkan untuk dakwah: waktu, harta, tenaga,
kedudukan, pemikiran, hingga nyawa. Pengorbanan ini
terus ia lakukan hingga ia berusia lanjut.
Alhamdulillah, suami Ummu Sulaim ini dikaruniai usia
panjang.

Pada zaman Khalifah Usman bin Affan, kaum Muslimin
harus berperang di lautan. Sebagai seorang mujahid
kawakan, Abu Thalhah tentunya tidak mau ketinggalan.
Bersama pasukan kaum Muslimin lainnya, ia bersiap-siap
turut dalam peperangan tersebut.

"Wahai Bapak, Bapak sudah tua. Bapak sudah turut
berjuang bersama Rasulullah SAW, bersama Abu Bakar,
dan Umar bin Khathab. Kini waktunya Bapak
beristirahat. Biarlah kami yang menggantikan Bapak
berperang," ungkap anak-anaknya.

Apa jawaban Abu Thalhah? Ia membaca sebuah ayat
Alquran, ''Berangkatlah kamu dalam keadaan senang dan
susah, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di
jalan Allah. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu menyadari.'' (QS At Taubah [9]: 41).

"Firman ini memerintahkan kita semua, baik tua atau
pun muda, untuk berperang. Allah tidak membatasi usia
seseorang untuk menegakkan agama Allah," lanjut Abu
Thalhah. Ia menolak permintaan anak-anaknya untuk
tinggal di rumah.

Sejarah mencatat, mujahid dakwah ini meninggal di
kapal satu minggu sebelum mencapai daratan. Selama
enam hari di kapal jenazah Abu Thalhah tidak berubah
sedikit pun. Ia telihat seperti sedang tidur pulas.
Subhanallah!

Tiga sikap sahabat
Kisah ini memperlihatkan sosok sahabat yang memiliki
komitmen luar biasa terhadap Alquran. Lihatlah, demi
mengamalkan satu ayat saja (QS At Taubah [9]: 41), ia
rela mengorbankan hartanya yang paling berharga (baca:
nyawa).

Padahal, dilihat dari segi fisik, Abu Thalhah masuk
kelompok yang mendapatkan keringanan untuk tidak
berperang. Namun, ia tidak melakukannya.

Abu Thalhah tidaklah sendirian. Semua sabahat Rasul
memiliki sikap dan perhormatan yang luar biasa
terhadap Alquran. Tak heran bila zaman mereka hidup
menjadi zaman terbaik dalam sejarah manusia.
Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah
kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan
bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya? Demikian
janji Allah dalam QS Al Anbiyaa' [21] ayat 10.

Interaksi mereka terwujud dalam tiga bentuk. Pertama,
mereka menepatkan ayat-ayat Alquran seakan ditujukan
kepada dirinya sendiri. Saat Alquran memerintahkan
sesuatu (shalat, zakat, puasa, menuntut ilmu,
berjihad, dsb), maka mereka menggap perintah itu
ditujukan untuk dirinya, bukan untuk orang lain.
Demikian pula saat Alquran melarang sesuatu, maka
larangan tersebut seakan-akan ditujukan kepada dirinya
sendiri.

Sebuah peristiwa menakjubkan terlihat saat turunnya
ayat yang melarang meminum khamr (minuman keras).
Tanpa banyak tanya, para sahabat membuang dan
menumpahkan botol-botol khamr yang mereka miliki
selama-lamanya. Padahal kebiasaan tersebut sudah
berurat dan berakar dalam kesehariannya.

Kedua, saat berinteraksi dengan Alquran, mereka
meninggalkan ego dan semua atribut keduniawian yang
dimiliki. Tidak ada khalifah, saudagar kaya, pemikir,
panglima perang. Semuanya hamba dhaif di hadapan
kalam-kalam Ilahi. Contoh terbaik adalah Umar bin
Khatbah. Walau menjabat sebagai khalifah yang luas
kekuasaannya, kuat intelegensi, fisik dan keimanannya,
namun saat membaca Alquran ia menganggap dirinya hamba
yang hina dina.

Dikisahkan, Umar pernah terguncangan jiwanya ketika ia
membaca rangkaian QS At Thuur [52] ayat 9-14, ''Pada
hari ketika langit benar-benar bergoncang. Dan gunung
benar-benar berjalan. Maka kecelakaan yang besarlah di
hari itu bagi orang-orang yang mendustakan, (yaitu)
orang-orang yang bermain-main dalam kebatilan. Pada
hari mereka didorong ke neraka Jahanam dengan
sekuat-kuatnya. (Dikatakan kepada mereka), 'Inilah
neraka yang dahulu kamu selalu mendustakannya'.''
Setelah mendengar ayat ini, Umar sakit keras selama
sebulan lebih.

Ketiga, mereka berinteraksi dengan Alquran dalam
bingkai hidayah Allah. Artinya, saat berinteraksi
mereka tidak lepas dari pemahaman untuk tujuan apa
Alquran diturunkan. Allah SWT menurunkan Alquran
sebagai penerang (QS Ali Imran [3]: 138) dan petunjuk
(hudan) bagi orang yang bertakwa (QS Al Baqarah [2]:
2). Inilah fungsi utama. Karena memahami Alquran
sebagai penerang dan petunjuk, maka mereka
berlomba-lomba membaca, menelaah, memahami lalu
mengamalkannya. Mereka yakin hanya dengan Alquran-lah
kebahagiaan di dunia dan akhirat akan mereka gapai.
Karena itu, mereka tidak pernah berbuat, kecuali
perbuatan tersebut selaras dengan Alquran.

Dalam shirah nabawiyyah, kita pun melihat bagaimana
antusiasnya sahabat menantikan turunnya ayat-ayat
Alquran. Saat sebuah ayat turun, mereka berlomba-lomba
membaca, menghapal dan mengamalkannya. Para sahabat
pun memiliki kebiasaan untuk tidak membaca atau
menelaah Alquran, sebelum mereka mengamalkannya
ayat-ayat yang telah dibaca dan ditelaah sebelumnya.

Sebuah perbandingan
Sudah menjadi "rahasia umum" bahwa penyebab kemunduran
kita, baik sebagai sebuah umat maupun sebagai
individu, dipengaruhi oleh rendahnya tingkat interaksi
dengan Alquran. Pola interaksi kita "umumnya" hanya
sebatas lisan (membaca), tanpa melibatkan aspek
lainnya (menghapal, menelaah, memahami, dan
mengamalkan). Walaupun mengamalkan, tidak jarang
pengamalannya masih parsial.

Ada perbandingan menarik dari ulama Mesir, Dr Muhammad
Al Ghazali (alm) tentang pola interaksi generasi
Khulafaur Rasyidin dengan generasi sekarang terhadap
Alquran. "Generasi pertama terangkat kemuliaannya
karena menempatkan Alquran di atas segala-galanya.
Sedangkan generasi sekarang jatuh kemuliaannya karena
menempatkan Alquran di bawah nafsu dan kehendak
dirinya". Wallaahu a'lam.

0 komentar: