Tausyiah - Jumat, 28 Oktober 2005
Masih ingatkah kita dengan kata-kata "separuh dien"? Ya kata-kata yang disadur dari hadis nabi, yang sering dijadikan motivasi untuk segera menikah. Tapi sudahkah kita coba menyelami makna dari menggenapkan separuh dien ini?
Saudaraku fillah, perjalanan hidup ini membawa kita dari satu episode ke episode yang lain dalam suatu sinetron yang kita tak tahu kapan ceritanya berakhir. Dalam suatu episode kita dituntut memegang suatu peran dan pada episode yang lain kita diberi peran baru lagi tanpa harus meninggalkan peran yang lama, sehingga semakin lama episode kehidupan yang kita jalani semakin banyak peran yang harus kita lakoni, semakin berat amanah yang harus kita pikul.
Dalam perjalanan hidup kita yang mencoba menggenapkan separuh dien ini, mau tak mau Sang Sutradara akan memberi kita peran baru, bahkan diantara kita ada yang diberi dua peran sekaligus, ya kita pasti tahu peran itu sebagai suami dan ayah atau sebagai istri dan ibu. Memegang satu peran saja tidak mudah apalagi harus menjalani dua peran atau lebih sekaligus. Di saat yang bersamaan kadang2 beberapa peran menuntut loyallitas kita, pada saat itulah skala prioritas menjadi suatu keniscayaan.
Saudaraku fillah, sebagai laki2 menjadi ayah dan suami adalah suatu peran yang tidak bisa kita lepaskan ketika kita memilih episode pernikahan. Kita sering mendengar berapa banyak orang yang gagal memerankan peran ini dengan baik, sehingga selalu saja ada episode perpisahan atau perceraian.
Kadang2 cerita-cerita indah pernikahan yang pernah diidamkan hanya tinggal dongeng2 impian yang tak pernah berwujud kenyataan. Berapa banyak para suami yang mengeluhkan sikap istrinya, dan berapa banyak ayah yang tidak bisa mengerti bagaimana cara menghadapi anaknya. Demikian pula sebaliknya berapa banyak istri yang merasa diperlakukan tidak manusiawi dan anak yang merasa tidak dikasihi.
Dalam sebuah buku yang ditulis oleh seorang pendeta (untuk diambil hikmahnya), dia mengatakan bahwa kadang orang tertipu oleh angan2nya sendiri, dia menganggap bahwa pasangannya akan selalu siap melayani dia, dia menganggap bahwa pasangannya akan berjalan sesuai dengan keinginan dia. Dia lupa bahwa pasangannya itu adalah orang lain, yang punya latar belakang yang berbeda dengan dia, yang punya masa lalu yang berbeda dengan dia, dan yang juga punya keinginan seperti dia.
Oleh karena itu ketika kata "AKU" yang bicara, ketika pikiran "AKU" yang digunakan, dan keinginan "AKU" yang diperturutkan maka sudah pasti bukan keharmonisan yang didapatkan. Sama halnya dalam suatu episode drama, ketika suatu peran merasa dirinya yang paling layak dilihat, dirinya yang paling layak didengar dan hanya dirinya yang paling layak diperhatikan maka kita akan merasa jemu melihat pertunjukan drama itu karena hanya dimainkan oleh satu peran.
Saudaraku fillah, dalam episode "rumah tangga" ini Allah sedang mendidik kita untuk berbagi bukan membagi, untuk mengerti bukan dimengerti, untuk mendengar bukan didengar. Menjadi pendengar, pengertian, emapati adalah peran yang paling sulit dilakukan karena itu berarti harus melakukan dua peran sekaligus, yaitu:menjadi suami dan ayah yang pengertian, suami dan ayah yang pendengar dan suami dan ayah empati.
Apalagi bagi seorang laki2, yang merasa punya superioritas peran sebagai "Qowam", seakan-akan menjadi suami dan ayah yang mengerti adalah seperti melakukan dua peran sekaligus yang saling bertolak belakang, karena ketika menjadi suami yang "Qowam" seolah-olah dia merasa dialah yang harus didengar, dimengerti dan diperhatikan.
Maka kita harus mendudukkan fungsi "Qowam" pada tempatnya. Ketika kita disuruh menjaga istri dan anak kita dari api neraka seperti perintah Allah dalam At-Tahrim ayat 6, ketika itulah fungsi "Qowam" harus kita mainkan dengan bijaksana. Kenapa harus ditegakkan dengan bijaksana sebab rasul juga memberi peringatan pada kita untuk hati2 ketika meluruskan sikap pada wanita karena wanita itu bagaikan tulang rusuk, kalau dibiarkan tetap bengkok kalo dipaksa bisa patah.
Ketika fungsi "Qowam" tidak dilakukan dengan bijaksana yang terjadi adalah kesewenangan dan pemaksaaan yang berujung pada sikap perlawanan dan pembangkangan. Hal yang sama juga dapat terjadi pada anak. Anak akan jadi pembangkang bila dia didik dengan pemaksaan dan kediktatoran. Sebaliknya Luqman mengajarkan pada kita dalam Al-Qur’an agar mendidik anak dengan persuasif dan argumentatif.
Nabi Ibrahim juga memberi teladan bagaimana dia meminta pendapat anak, berdiskusi dengan anak untuk suatu kewajiban yang diperintahkan Allah. Kita juga dapat meneladani bagaimana Rasulullah SAW juga mengajarkan persamaan derajat hukum dimata Allah kepada Fatimah, dan masih banyak lagi contoh yang bisa kita teladani bagaimana menjadi ayah yang terbaik bagi anak kita.
Saudaraku fillah yang dinginkan Sang Sutradara dari peran kita adalah "qowam" yang melindungi, menyayangi dan yang mau mengerti yang menanggalkan segala atribut "kekuasaan", "kesewenangan", dan "keegoisan". Indah sekali perumpamaan Allah SWT yang diberikan pada kita "kamu bagaikan pakaian bagi mereka dan mereka adalah pakaian bagi kamu".
Dari ayat ini kita bisa menangkap pesan yang diinginkan Sang Sutradara, bahwa kita dituntut saling melengkapi, saling mengerti, saling menghargai, dan saling bekerja sama, tidak ada yang merasa harus lebih dihargai, lebih dimengerti dan lebih tinggi. Kalau peran yang diminta Sang Sutradara kita jalani maka kita akan merasa saling mencinta, nyaman, aman, dan tenteram dalam menjalani episode "rumah tangga". Perasaan nyaman, aman, tentreram itu sering kita kenal dengan istilah Sakinah, Mawaddah wa Rahmah.
Saudaraku fillah ketika perasaan sakinah mawaddah wa rahmah itu terjaga dalam hati masing2 pasangan maka jika salah satu pasangan tersebut tiada maka akan dikenang oleh pasangan yang masih hidup. Sebagaimana Rasulullah SAW selalu mengenang Khadijah r.a. walaupun beliau sudah menikah dengan Aisyah yang jauh lebih muda dari Khadijah.
Jadi yang membuat kita terkenang di hati bukan fisik kita tapi pengorbanan kita untuk mau menjadi suami dan ayah yang mau mengerti, mau menyayangi dan empati di mata istri dan anak kita. Semoga Allah memberi kekuatan pada kita untuk menjadi suami dan ayah yang ideal bagi keluarga kita. Amin.
Wednesday, December 7, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment