Wednesday, September 14, 2005

Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwah

KH. Rahmat Abdullah (alm)
AlDakwah.org.

Mungkin terjadi seseorang yang dahulunya saling
mencintai akhirnya saling memusuhi dan sebaliknya yang sebelumnya
saling bermusuhan akhirnya saling berkasih sayang. Sangat dalam pesan
yang disampaikan Kanjeng Nabi SAW :

"Cintailah saudaramu secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan
menjadi orang yang kau benci. Bencilah orang yang kau benci secara
proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi kekasih yang kau
cintai." (Hadist Sahih Riwayat Tirmidzi, Baihaqi, Thabrani,
Daruquthni, Ibn Adi, Bukhari). Ini dalam kaitan interpersonal.

Dalam hubungan kejamaahan, jangan ada reserve kecuali reserve syar'i
yang menggariskan aqidah "La tha'ata limakhluqin fi ma'shiati'l
Khaliq". Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluq dalam berma'siat
kepada Alkhaliq. (Hadist Sahih Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad dan
Hakim).

Doktrin ukhuwah dengan bingkai yang jelas telah menjadikan dirinya
pengikat dalam senang dan susah, dalam rela dan marah. Bingkai itu
adalah : "Level terendah ukhuwah (lower), jangan sampai merosot ke
bawah garis rahabatus'shadr (lapang hati) dan batas tertinggi tidak
(upper) tidak melampaui batas itsar (memprioritaskan saudara diatas
kepentingan diri).

Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwah

Karena bersaudara di jalan ALLAH telah menjadi kepentingan dakwah-Nya,
maka "kerugian apapun" yang diderita saudara-saudara dalam iman dan
da'wah, yang ditimbulkan oleh kelesuan, permusuhan ataupun
pengkhianatan oleh mereka yang tak tahan beramal jama'i, akan
mendapatkan ganti yang lebih baik. "Dan jika kamu berpaling, maka
ALLAH akan gantikan dengan kaum yang lain dan mereka tidak akan jadi
seperti kamu" (Qs. 47: 38).

Masing-masing kita punya pengalaman pribadi dalam da'wah ini. Ada yang
sejak 20 tahun terakhir dalam kesibukan yang tinggi, tidak pernah
terganggu oleh kunjungan yang berbenturan dengan jadwal da'wah atau
oleh urusan yang merugikan da'wah. Mengapa ? Karena sejak awal yang
bersangkutan telah tegar dalam mengutamakan kepentingan da'wah dan
menepiskan kepentingan lainnya. Ini jauh dari fikiran nekad yang
membuat seorang melarikan diri dari tanggungjawab keluarga.

Ada seorang ikhwah, Dia bercerita, ketika menikah langsung berpisah
dari kedua orang tua masing-masing, untuk belajar hidup mandiri atau
alasan lain, seperti mencari suasana yang kondusif bagi pemeliharaan
iman menurut persepsi mereka waktu itu. Mereka mengontrak rumah petak
sederhana. "Begitu harus berangkat (berdakwah-red) mendung menggantung
di wajah pengantinku tercinta", tuturnya.

Dia tidak keluar melepas sang suami tetapi menangis sedih dan bingung,
seakan doktrin da'wah telah mengelupas. Kala itu jarang da'i dan
murabbi yang pulang malam apalagi petang hari, karena mereka biasa
pulang pagi hari. Perangpun mulai berkecamuk dihati, seperti Juraij
sang abid yang kebingungan karena kekhususan ibadah (sunnah) nya
terusik panggilan ibu. "Ummi au shalati : Ibuku atau shalatku?"
Sekarang yang membingungkan justru "Zauji au da'wati" : Isteriku atau
da'wahku ?".

Dia mulai gundah, kalau berangkat istri cemberut, padahal sudah tahu
nikah dengannya risikonya tidak dapat pulang malam tapi biasanya
pulang pagi, menurut bahasa Indonesia kontemporer untuk jam diatas
24.00. Dia katakan pada istrinya : "Kita ini dipertemukan oleh Allah
dan kita menemukan cinta dalam da'wah. Apa pantas sesudah da'wah
mempertemukan kita lalu kita meninggalkan da'wah. Saya cinta kamu dan
kamu cinta saya tapi kita pun cinta Allah". Dia pergi menerobos segala
hambatan dan pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah masih
mendung, namun membaik setelah beberapa hari.

Beberapa tahun kemudian setelah beranak tiga atau empat, saat kelesuan
menerpanya, justru istri dan anak-anaknyalah yang mengingatkan,
mengapa tidak berangkat dan tetap tinggal dirumah? Sekarang ini
keluarga da'wah tersebut sudah menikmati berkah da'wah.

Lain lagi kisah sepasang suami istri yang juga dari masyarakat da'wah.
Kisahnya mirip, penyikapannya yang berbeda. Pengantinnya tidak siap
ditinggalkan untuk da'wah. Perang bathin terjadi dan malam itu ia
absent dalam pertemuan rutin. Dilakukan muhasabah terhadapnya sampai
menangis-menangis, ia sudah kalah oleh penyakit "syaghalatna amwaluna
waahluna": "kami telah dilalaikan oleh harta dan keluarga" (Qs.
48:11).

Ia berjanji pada dirinya : "Meskipun terjadi hujan, petir dan gempa
saya harus hadir dalam tugas-tugas da'wah". Pada giliran berangkat
keesokan harinya ada ketukan kecil dipintu, ternyata mertua datang.
"Wah ia yang sudah memberikan putrinya kepadaku, bagaimana mungkin
kutinggalkan?". Maka ia pun absen lagi dan di muhasabah lagi sampai
dan menangis-nangis lagi. Saat tugas da'wah besok apapun yang terjadi,
mau hujan, badai, mertua datang dll pokoknya saya harus datang. Dan
begitu pula ketika harus berangkat ternyata ujian dan cobaan datang
kembali dan iapun tak hadir lagi dalam tugas-tugas dakwah.

Sampai hari ini pun saya melihat jenis akh tersebut belum memiliki
komitmen dan disiplin yang baik. Tidak pernah merasakan memiliki
kelezatan duduk cukup lama dalam forum da'wah, yang penuh berkah.
Sebenarnya adakah pertemuan-pertemuan yang lebih lezat selain
pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh ikhwah berwajah jernih berhati
ikhlas ? Saya tak tahu apakah mereka menemukan sesuatu yang lain, "in
lam takun bihim falan takuna bighoirihim".

Di Titik Lemah Ujian Datang

Akhirnya dari beberapa kisah ini saya temukan jawabannya dalam satu
simpul. Simpul ini ada dalam kajian tematik ayat QS Al-A'raf Ayat 163:
"Tanyakan pada mereka tentang negeri di tepi pantai, ketika mereka
melampaui batas aturan Allah di (tentang) hari Sabtu, ketika ikan-ikan
buruan mereka datang melimpah-limpah pada Sabtu dan di hari mereka
tidak ber-sabtu ikan-ikan itu tiada datang. Demikianlah kami uji
mereka karena kefasikan mereka".

Secara langsung tema ayat tentang sikap dan kewajiban amar ma'ruf
nahyi munkar. Tetapi ada nuansa lain yang menambah kekayaan wawasan
kita. Ini terkait dengan ujian.

Waktu ujian itu tidak pernah lebih panjang daripada waktu hari
belajar, tetapi banyak orang tak sabar menghadapi ujian, seakan
sepanjang hari hanya ujian dan sedikit hari untuk belajar. Ujian
kesabaran, keikhlasan, keteguhan dalam berda'wah lebih sedikit
waktunya dibanding berbagai kenikmatan hidup yang kita rasakan.

Kalau ada sekolah yang waktu ujiannya lebih banyak dari hari
belajarnya, maka sekolah tersebut dianggap sekolah gila. Selebih dari
ujian-ujian kesulitan, kenikmatan itu sendiri adalah ujian. Bahkan,
alhamdulillah rata-rata kader da'wah sekarang secara ekonomi semakin
lebih baik. Ini tidak menafikan (sedikit) mereka yang roda ekonominya
sedang dibawah.

Seorang Ustadz, ketika selesai menamatkan pendidikannya di Madinah,
mengajak rekannya untuk mulai aktif berda'wah. Diajak menolak, dengan
alasan ingin kaya dulu, karena orang kaya suaranya didengar orang dan
kalau berda'wah, da'wahnya diterima. Beberapa tahun kemudian mereka
bertemu. "Ternyata kayanya kaya begitu saja", ujar Ustadz tersebut.

Ternyata kita temukan kuncinya, "Demikianlah kami uji mereka karena
sebab kefasikan mereka". Nampaknya Allah hanya menguji kita mulai pada
titik yang paling lemah. Mereka malas karena pada hari Sabtu yang
seharusnya dipakai ibadah justru ikan datang, pada hari Jum'at jam
11.50 datang pelanggan ke toko. Pada saat-saat jam da'wah datang orang
menyibukkan mereka dengan berbagai cara.

Tapi kalau mereka bisa melewatinya dengan azam yang kuat, akan seperti
kapal pemecah es. Bila diam salju itu tak akan menyingkir, tetapi
ketika kapal itu maju, sang salju membiarkannya berlalu. Kita harus
menerobos segala hal yang pahit seperti anak kecil yang belajar puasa,
mau minum tahan dulu sampai maghrib. Kelezatan, kesenangan dan
kepuasan yang tiada tara, karena sudah berhasil melewati ujian dan
cobaan sepanjang hari.

Karena itu mari melihat dimana titik lemah kita. Yang lemah dalam
berukhuwah, yang gerah dan segera ingin pergi meninggalkan kewajiban
liqa', syuro atau jaulah. Bila mereka bersabar melawan rasa gerah itu,
pertarungan mungkin hanya satu dua kali, sesudah itu tinggal hari-hari
kenikmatan yang luar biasa yang tak tergantikan.

Bahkan orang-orang salih dimasa dahulu mengatakan: "Seandainya para
raja dan anak-anak raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam
dzikir dan majlis ilmu, niscaya mereka akan merampasnya dan memerangi
kita dengan pedang". Sayang hal ini tidak bisa dirampas, melainkan
diikuti, dihayati dan diperjuangkan. Berda'wah adalah nikmat,
berukhuwah adalah nikmat, saling menopang dan memecahkan problematika
da'wah bersama ikhwah adalah nikmat, andai saja bisa dikhayalkan oleh
mereka menelantarkan modal usia yang ALLAH berikan dalam kemilau dunia
yang menipu dan impian yang tak kunjung putus.

Ayat ini mengajarkan kita, ujian datang di titik lemah. Siapa yang
lemah di bidang lawan jenis, seks dan segala yang sensual tidak diuji
di bidang keuangan, kecuali ia juga lemah disitu. Yang lemah dibidang
keuangan, jangan berani-berani memegang amanah keuangan kalau kamu
lemah di uang hati-hati dengan uang. Yang lemah dalam gengsi, hobi
popularitas, riya' mungkin -dimasa ujian- akan menemukan orang yang
terkesan tidak menghormatinya. Yang lidahnya tajam dan berbisa mungkin
diuji dengan jebakan-jebakan berkomentar sebelum tabayun
(klarifikasi).Yang lemah dalam kejujuran mungkin selalu terjebak
perkara yang membuat dia hanya 'selamat' dengan berdusta lagi. Dan itu
arti pembesaran bencana.

Kalau saja Abdullah bin Ubay bin Salul, nominator pemimpin Madinah
(dahulu Yatsrib) ikhlas menerima Islam sepenuh hati dan realistis
bahwa dia tidak sekaliber Rasulullah SAW, niscaya tidak semalang itu
nasibnya. Bukankah tokoh-tokoh Madinah makin tinggi dan terhormat,
dunia dan akhirat dengan meletakkan diri mereka dibawah kepemimpinan
Rasulullah SAW ? Ternyata banyak orang yang bukan hanya bakhil dengan
harta yang ALLAH berikan, tetapi juga bakhil dengan ilmu, waktu,
gagasan dan kesehatan yang seluruhnya akan menjadi beban tanggungjawab
dan penyesalan.

Seni Membuat Alasan

Perlu kehati-hatian -sesudah syukur- karena kita hidup di masyarakat
Da'wah dengan tingkat husnuzzhan yang sangat tinggi. Mereka yang
cerdas tidak akan membodohi diri mereka sendiri dengan percaya kepada
sangkaan baik orang kepada dirinya, sementara sang diri sangat faham
bahwa ia tak berhak atas kemuliaan itu.

Gemetar tubuh Abu Bakar RA bila disanjung. "Ya ALLAH, jadikan daku
lebih baik dari yang mereka sangka, jangan hukum daku lantaran ucapan
mereka dan ampuni daku karena ketidaktahuan mereka", demikian ujarnya
lirih. Dimana posisi kita dari kebajikan Abu Bakr Shiddiq RA ?
"Alangkah bodoh kamu, percaya kepada sangka baik orang kepadamu,
padahal engkau tahu betapa diri kamu jauh dari kebaikan itu", demikian
kecaman Syaikh Harits Almuhasibi dan Ibnu Athai'Llah.

Diantara nikmat ALLAH ialah sitr (penutup) yang ALLAH berikan para
hamba-Nya, sehingga aibnya tak dilihat orang. Namun pelamun selalu
mengkhayal tanpa mau merubah diri. Demikian mereka yang memanfaatkan
lapang hati komunitas da'wah tumbuh dan menjadi tua sebagai seniman
maaf, "Afwan ya Akhi".

Tetapi ALLAH-lah Yang Memberi Mereka Karunia Besar

Kelengkapan Amal Jama'i tempat kita 'menyumbangkan' karya kecil kita,
memberikan arti bagi eksistensi ini. Kebersamaan ini telah melahirkan
kebesaran bersama. Jangan kecilkan makna kesertaan amal jama'i kita,
tanpa harus mengklaim telah berjasa kepada Islam dan da'wah. "Mereka
membangkit-bangkitkan (jasa) keislaman mereka kepadamu. Katakan :
'Janganlah bangkit-bangkitkan keislamanmu (sebagai sumbangan bagi
kekuatan Islam, (sebaliknya hayatilah) bahwa ALLAH telah memberi kamu
karunia besar dengan membimbing kamu ke arah Iman, jika kamu memang
jujur" (Qs. 49;17).

ALLAH telah menggiring kita kepada keimanan dan da'wah. Ini adalah
karunia besar. Sebaliknya, mereka yang merasa telah berjasa, lalu
-karena ketidakpuasan yang lahir dari konsekwensi bergaul dengan
manusia yang tidak maksum dan sempurna- menunggu musibah dan
kegagalan, untuk kemudian mengatakan : "Nah, rasain !" Sepantasnya
bayangkan, bagaimana rasanya bila saya tidak bersama kafilah
kebahagiaan ini?.

Saling mendo'akan sesama ikhwah telah menjadi ciri kemuliaan pribadi
mereka, terlebih doa dari jauh. Selain ikhlas dan cinta tak nampak
motivasi lain bagi saudara yang berdoa itu. ALLAH akan mengabulkannya
dan malaikat akan mengamininya, seraya berkata : "Untukmu pun hak
seperti itu", seperti pesan Rasulullah SAW. Cukuplah kemuliaan ukhuwah
dan jamaah bahwa para nabi dan syuhada iri kepada mereka yang saling
mencintai, bukan didasari hubungan kekerabatan, semata-mata iman dan
cinta fi'Llah.

Ya ALLAH, kami memohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu
dan cinta kepada segala yang akan mendekatkan kami kepada cinta-Mu.