Thursday, August 11, 2005

Ibuku Tangguh

Ibuku, Tangguh!

Pernah suatu sore, ibu pulang dengan tapak kaki
berdarah. "Tertusuk kerikil," terangnya. Setelah
perjalanan panjang yang melelahkan semenjak pagi,
wanita yang kasihnya tak terbilang nilai itu
mengakhirinya dengan sedikit ringisan, "Tidak apa-apa,
cuma luka kecil kok," tenang ibu.

Padahal, baru dua hari lalu beberapa orang warga yang
tak satu pun saya mengenalnya membopong ibu dalam
keadaan pingsan. Ternyata ibu kelelahan hingga tak
kuat lagi berjalan. Bermil-mil ia mengetuk pintu ke
pintu rumah orang yang tak dikenalnya untuk menawarkan
jasa mengajar baca tulis Al Qur'an bagi penghuni
rumah. Tak jarang suara hampa yang ia dapatkan dari
dalam rumah, sesekali penolakan, dan tak terbilang
kata, "Maaf, kami belum butuh guru mengaji." Tapi ibu
tetap tersenyum.

Sejak perceraiannya dengan ayahku, ibu yang menanggung
semua nafkah lima anaknya. Pagi ia berjualan nasi dan
ketupat bermodalkan sedikit keterampilan memasak yang
ia peroleh selagi muda dulu. Menjelang siang ia
memulai menyusuri jalan yang hingga kini takkan pernah
bisa kuukur, menawarkan jasa dan keahliannya mengajar
baca tulis Al Qur'an. Selepas isya' kami ke lima
anaknya menunggu setia kepulangan ibu di pinggir
jalan.

Sempat saya bertanya dalam hati, lelahkah ia?

Biasanya kami berebut untuk menjadi tukang pijat ibu,
saya di kepala, abang di kaki, sementara kedua tangan
ibu dikeroyok adik-adik. Kecuali si cantik bungsu,
usianya kurang dari empat tahun kala itu. Bukannya ibu
yang tertidur pulas, justru kami yang terlelap satu
persatu terbuai indahnya nasihat lewat tutur cerita
ibu.

Tengah malam saya terbangun, melihat ibu masih duduk
bersimpuh di sajadahnya. Ia menangis sambil menyebut
nama kami satu persatu agar Allah membimbing dan
menjaga kami hingga menjadi orang yang senantiasa
membuat ibu tersenyum bangga pernah melahirkannya.
Saya ternganga sekejap untuk kemudian terlelap kembali
hingga menjelang subuh ia membangunkan kami.

Selepas subuh, wanita yang ketulusannya hanya mampu
dibalas oleh Allah itu meneruskan pekerjaanya
menyiapkan dagangan. Sementara kami membantu ala
kadarnya. Tak pernah saya melihat ia mengeluh meski
teramat sudah peluhnya.

Satu tanyaku kala itu, kapan ia terlelap?

Pagi hari di sela kesibukannya melayani pembeli, ia
juga harus menyiapkan pakaian anak-anak untuk ke
sekolah. Sabar ia meladeni teriakan silih berganti
dari kami yang minta pelayanannya. Wanita yang namanya
diagungkan Rasulullah itu, tak pernah marah atau
kesal. Sebaliknya dengan segenap cinta yang
dimilikinya ia berujar, "Abang sudah besar, bantu ibu
ya."

Ingin sekali kutanyakan, pernahkah ia berkesah?

***

Kini, setelah berpuluh tahun ia lakukan semua itu,
setelah jutaan mil jalan yang ia susuri,
bertampuk-tampuk doa dan selaut tangisnya di hadapan
Allah, saya tak pernah, dan takkan pernah bertanya
apakah ia begitu lelah. Karena saya teramat tahu,
Ibuku tangguh.

(Tulisan Kiki di Suara Merdeka)

1 komentar:

Anonymous said...

Very cool design! Useful information. Go on! » »